Rabu, 11 Maret 2015

Kiss of Death Ch.05


V
“Kau baik-baik saja.” Kata dokter Ian padaku. Dokter itu adalah salah satu temanku saat SMA dulu. Sayangnya kami sempat kehilangan kontak ketika lulus, dan sekarang kami malah bertemu lagi.
Ia sedang duduk si samping ranjangku sambil melihat memegangi ujung stetoskopnya. Aku bersandar pada sisi tempat tidurku.
“Dan.. bagaimana dengan tempat makan dekat rumahmu itu? Yang namanya…” lanjutnya.
“Maksudmu masakan padang yang 10 ribu itu? Masih ada kok.” Kataku datar.
“Tapi aku benar-benar merasakannya. Lidahku terasa aneh, dan kau pasti tahu kalau aku pingsan kemarin dan saat aku pingsan...” ucapanku tersangkut di tenggorokkan. Darah, dinginnya pisau, dan rasa sakit itu benar-benar nyata. Aku benar-benar ketakutan. Tanpa sadar aku menelan ludah.
“Menurutku... kau hanya mengalami trauma pasca kecelakaan. Tenang saja, perlahan-lahan keanehan itu akan hilang.” Ucap Ian sambil tersenyum dia benar-benar banyak berubah.
Aku menggelengkan kepala. Tidak. Aku benar-benar merasakannya. Ini bukan seperti halusinasi di mana kau merasa tidak bisa melawan karena setengah sadar. Ini persis seperti kau diikat di atas ranjang, kemudian mereka mengulitimu tanpa bisa kau lawan. Sebagian diriku mencoba percaya bahwa itu memang akibat trauma pasca kecelakaan, tapi lebih banyak bagian diriku yang tidak percaya. Pasti ada penjelasan lain dari kejadian ini. Pasti ada seseorang yang...
Gadis itu.
                Kuharap gadis itu mengetahui tentang keanehan ini. Tidak, ia pasti tahu jawabannya. Tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang masuk ke dalam mulutku. Lidahku terasa kelu. Aku segera mengambil air minum. Pada saat aku minum, air itu terasa seperti tembaga.
Pufft!!! Aku mendesis sambil membuang air yang tersisa di mulutku. Rasanya menjijikkan, dan ia terasa lebih mirip darah cair. Aku merasa agak mual. Ian menyerit melihatnya.
“Maaf, tapi entah kenapa air ini rasanya aneh. Mirip tembaga.”
Atau darah mungkin? Batinku dalam hati.
"Lain kali..." kata Ian. dia menunjukku dengan jari telunjuk. kelihatannya ia benar-benar tidak suka melihatku melakukan itu.
"Jangan lakukan itu." ucapnya.
                Aku tidak terlalu mendengar ucapannya. kepalaku mulai terasa pusing. Akhirnya aku hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum kecil agar mempersingkat pembicaraan.
Akhirnya Ian itu segera pamit dan segera pergi. pada saat itu kepalaku terasa sangat sakit. aku meringis sambil memijat kepalaku perlahan-lahan.
                Selang beberapa saat, rasa sakit ini berkurang. aku beristirahat sebentar sebelum akhirnya berjalan ke kamar gadis itu. rasa sakitnya masih terasa. tapi setidaknya ia tidak merasakan rasa sakit dan kilasan kejadian seperti saat pertama suara aneh itu muncul pertama kali.
                Aku berjalan mendekati kamar gadis itu. Aku mengambil napas sejenak sebelum masuk ke dalam kamarnya.
Tok, tok, tok.. aku mengetuk pintu kamarnya.
“Aku tahu itu pasti kau.” Kata suara dari dalam kamar. Aku membeku. Tidak salah lagi. Aku mengenalinya dengan baik.
“Masuk saja,  kau tidak mau terlihat seperti orang kebingungan di luar sana kan?” tanyanya.
 Aku membuka pintu secara hati - hati. lebih karena waspada untuk menghindar jika ada benda-benda aneh yang terbang. Tapi ternyata tidak. Gadis itu sedang melihat keluar jendela. Ia terlihat menyadari keberadaanku tetapi tidak peduli.
“Err… bagaimana keadaanmu?” tanyaku. Entah kenapa rasanya aku kehilangan kata – kata.
“Sudahlah, tidak perlu basa-basi. Aku tahu apa tujuanmu ke sini.” Ujar gadis itu.
Aku mengangguk dan memperhatikan wajahnya. Tidak ada ketakutan yang aku lihat saat di kereta. Dia hanya terlihat jengkel.
“Maksudmu… kau tahu apa yang terjadi padaku?”
“Ya.” Gadis itu mengangguk singkat.
“Bisa kau jelaskan padaku?” tanyaku penuh harap.
“Apa yang suara itu katakan padamu?” kali ini dia balas bertanya.
“Suara? Suara apa?” Tanyaku tidak mengerti.
“Apa kau pernah pingsan kemarin?” tanyanya lagi.
Aku segera mengangguk mengiyakan.
“Dan apa kau mendengar suara yang terasa dingin itu?”
Aku mengangguk lagi. Itu adalah suara yang tidak mungkin aku lupakan dan sepertinya gadis itu juga merasakannya.
“Aku ingat. suara itu mengatakan bahwa sang pewaris akan mendapatkan hadiahnya, dan sebuah ciuman kematian untuk dirinya. Apa maksudnya itu?” tanyaku.
“Sebuah ciuman kematian… aku lebih sering menyebutnya menyebutnya kiss of death-”
“Sebentar, apa maksudnya itu?” ucapku tanpa segan-segan menyela.
Gadis itu menghela napas sebentar sebelum akhirnya mulai berbicara.
“Kiss of death adalah saat ketika kau seharusnya mati. Tapi sayangnya kau tidak mati.”
Gadis itu berhenti, ia menyerit melihatku yang kebingungan dan tidak percaya. Tapi ia segera melanjutkan ucapannya.
“Jadi… yah, aku hanya bisa bilang kau seharusnya sudah mati.” Katanya simple.
“Kau pasti bohong.” Kataku sama sekali tidak percaya.
Gadis itu menunjukkan telapak tangannya yang di perban.
“Lihat ini.” Katanya.
                Pada saat mengatakan hal itu, gadis itu membuka perbannya dengan gunting. Aku  tidak melihat gunting itu sebelumnya. Ia membukanya. Menunjukkan telapak tangan kirinya yang belum sembuh dan masih di jahit. Aku memperhatikan telapak tangan tersebut. Luka itu masih terlihat belum sembuh. Sebelum aku sempat merespon, tiba-tiba gadis itu menepuk pelan bahu kananku dengan tangan kirinya.
“Arrgh!!!” aku berteriak kesakitan. Secara refleks aku berusaha menarik tangannya agar tidak menyentuhku. Tapi percuma, sekuat apapun aku mencoba menjauhkannya. Tangan gadis itu tidak bisa dilepas sama sekali. Darah merembes di bahuku. Rasa hangat mulai menyebar di sekitar telapak gadis itu. Aku bisa merasakannya. Pada saat itu aku mulai merasa pusing kembali.
                Begitu kepalaku mulai terasa pusing, gadis itu menurunkan tangannya. Aku terhuyung hampir kehilangan keseimbangan.
“Kau…” kataku pelan sambil memeriksa luka yang ada di bahu kiriku. Tidak ada darah di sana. Aku benar-benar kebingungan. Pandanganku beralih pada tangan kiri gadis itu. Ada darah di sana.
“Bagaimana bisa?” tanyaku sama sekali tidak mengerti.