V
“Kau baik-baik
saja.” Kata dokter Ian padaku. Dokter itu adalah salah satu temanku saat SMA
dulu. Sayangnya kami sempat kehilangan kontak ketika lulus, dan sekarang kami
malah bertemu lagi.
Ia sedang duduk si
samping ranjangku sambil melihat memegangi ujung stetoskopnya. Aku bersandar
pada sisi tempat tidurku.
“Dan.. bagaimana
dengan tempat makan dekat rumahmu itu? Yang namanya…” lanjutnya.
“Maksudmu masakan
padang yang 10 ribu itu? Masih ada kok.” Kataku datar.
“Tapi aku
benar-benar merasakannya. Lidahku terasa aneh, dan kau pasti tahu kalau aku
pingsan kemarin dan saat aku pingsan...” ucapanku tersangkut di tenggorokkan.
Darah, dinginnya pisau, dan rasa sakit itu benar-benar nyata. Aku benar-benar
ketakutan. Tanpa sadar aku menelan ludah.
“Menurutku... kau
hanya mengalami trauma pasca kecelakaan. Tenang saja, perlahan-lahan keanehan
itu akan hilang.” Ucap Ian sambil tersenyum dia benar-benar banyak berubah.
Aku menggelengkan
kepala. Tidak. Aku benar-benar merasakannya. Ini bukan seperti halusinasi di mana
kau merasa tidak bisa melawan karena setengah sadar. Ini persis seperti kau
diikat di atas ranjang, kemudian mereka mengulitimu tanpa bisa kau lawan.
Sebagian diriku mencoba percaya bahwa itu memang akibat trauma pasca
kecelakaan, tapi lebih banyak bagian diriku yang tidak percaya. Pasti ada
penjelasan lain dari kejadian ini. Pasti ada seseorang yang...
Gadis itu.
Kuharap gadis itu mengetahui
tentang keanehan ini. Tidak, ia pasti tahu jawabannya. Tiba-tiba aku merasakan
ada sesuatu yang masuk ke dalam mulutku. Lidahku terasa kelu. Aku segera
mengambil air minum. Pada saat aku minum, air itu terasa seperti tembaga.
Pufft!!! Aku
mendesis sambil membuang air yang tersisa di mulutku. Rasanya menjijikkan, dan
ia terasa lebih mirip darah cair. Aku merasa agak mual. Ian menyerit
melihatnya.
“Maaf, tapi entah
kenapa air ini rasanya aneh. Mirip tembaga.”
Atau darah mungkin? Batinku dalam hati.
"Lain
kali..." kata Ian. dia menunjukku dengan jari telunjuk. kelihatannya ia
benar-benar tidak suka melihatku melakukan itu.
"Jangan
lakukan itu." ucapnya.
Aku tidak terlalu mendengar
ucapannya. kepalaku mulai terasa pusing. Akhirnya aku hanya menganggukkan
kepala sambil tersenyum kecil agar mempersingkat pembicaraan.
Akhirnya Ian itu
segera pamit dan segera pergi. pada saat itu kepalaku terasa sangat sakit. aku
meringis sambil memijat kepalaku perlahan-lahan.
Selang beberapa saat, rasa sakit
ini berkurang. aku beristirahat sebentar sebelum akhirnya berjalan ke kamar
gadis itu. rasa sakitnya masih terasa. tapi setidaknya ia tidak merasakan rasa
sakit dan kilasan kejadian seperti saat pertama suara aneh itu muncul pertama
kali.
Aku berjalan mendekati kamar
gadis itu. Aku mengambil napas sejenak sebelum masuk ke dalam kamarnya.
Tok, tok, tok.. aku
mengetuk pintu kamarnya.
“Aku tahu itu pasti
kau.” Kata suara dari dalam kamar. Aku membeku. Tidak salah lagi. Aku
mengenalinya dengan baik.
“Masuk saja, kau tidak mau terlihat seperti orang
kebingungan di luar sana kan?” tanyanya.
Aku membuka pintu secara hati - hati. lebih karena
waspada untuk menghindar jika ada benda-benda aneh yang terbang. Tapi ternyata
tidak. Gadis itu sedang melihat keluar jendela. Ia terlihat menyadari
keberadaanku tetapi tidak peduli.
“Err… bagaimana
keadaanmu?” tanyaku. Entah kenapa rasanya aku kehilangan kata – kata.
“Sudahlah, tidak
perlu basa-basi. Aku tahu apa tujuanmu ke sini.” Ujar gadis itu.
Aku mengangguk dan
memperhatikan wajahnya. Tidak ada ketakutan yang aku lihat saat di kereta. Dia
hanya terlihat jengkel.
“Maksudmu… kau tahu
apa yang terjadi padaku?”
“Ya.” Gadis itu
mengangguk singkat.
“Bisa kau jelaskan
padaku?” tanyaku penuh harap.
“Apa yang suara itu
katakan padamu?” kali ini dia balas bertanya.
“Suara? Suara apa?”
Tanyaku tidak mengerti.
“Apa kau pernah
pingsan kemarin?” tanyanya lagi.
Aku segera
mengangguk mengiyakan.
“Dan apa kau
mendengar suara yang terasa dingin itu?”
Aku mengangguk
lagi. Itu adalah suara yang tidak mungkin aku lupakan dan sepertinya gadis itu
juga merasakannya.
“Aku ingat. suara
itu mengatakan bahwa sang pewaris akan mendapatkan hadiahnya, dan sebuah ciuman
kematian untuk dirinya. Apa maksudnya itu?” tanyaku.
“Sebuah ciuman
kematian… aku lebih sering menyebutnya menyebutnya kiss of death-”
“Sebentar, apa
maksudnya itu?” ucapku tanpa segan-segan menyela.
Gadis itu menghela
napas sebentar sebelum akhirnya mulai berbicara.
“Kiss of death
adalah saat ketika kau seharusnya mati. Tapi sayangnya kau tidak mati.”
Gadis itu berhenti,
ia menyerit melihatku yang kebingungan dan tidak percaya. Tapi ia segera
melanjutkan ucapannya.
“Jadi… yah, aku
hanya bisa bilang kau seharusnya sudah mati.” Katanya simple.
“Kau pasti bohong.”
Kataku sama sekali tidak percaya.
Gadis itu
menunjukkan telapak tangannya yang di perban.
“Lihat ini.”
Katanya.
Pada saat mengatakan hal itu, gadis
itu membuka perbannya dengan gunting. Aku
tidak melihat gunting itu sebelumnya. Ia membukanya. Menunjukkan telapak
tangan kirinya yang belum sembuh dan masih di jahit. Aku memperhatikan telapak
tangan tersebut. Luka itu masih terlihat belum sembuh. Sebelum aku sempat
merespon, tiba-tiba gadis itu menepuk pelan bahu kananku dengan tangan kirinya.
“Arrgh!!!” aku
berteriak kesakitan. Secara refleks aku berusaha menarik tangannya agar tidak
menyentuhku. Tapi percuma, sekuat apapun aku mencoba menjauhkannya. Tangan
gadis itu tidak bisa dilepas sama sekali. Darah merembes di bahuku. Rasa hangat
mulai menyebar di sekitar telapak gadis itu. Aku bisa merasakannya. Pada saat itu
aku mulai merasa pusing kembali.
Begitu kepalaku mulai terasa
pusing, gadis itu menurunkan tangannya. Aku terhuyung hampir kehilangan
keseimbangan.
“Kau…” kataku pelan
sambil memeriksa luka yang ada di bahu kiriku. Tidak ada darah di sana. Aku
benar-benar kebingungan. Pandanganku beralih pada tangan kiri gadis itu. Ada
darah di sana.
“Bagaimana bisa?”
tanyaku sama sekali tidak mengerti.
0 komentar:
Posting Komentar