Kamis, 13 Agustus 2015

Lebih Baik

 Suatu hari aku bertanya pada temanku "Apa yang akan kau lakukan jika gadis yang lu cintai itu lebih cerdas, lebih bisa mengambil keputusan, berpenghasilan lebih banyak, pokoknya lebih dari lu?"

Mendengar hal itu dia hanya menatapku dengan aneh sesaat sebelum akhirnya berkata.

"Tentu saja melindunginya."

"Tapi buat apa? Dia bahkan bisa melindungi dirinya lebih baik dari lu" Ujarku tak setuju.

Pada saat aku mengatakan itu, dia malah tersenyum seperti orang bodoh. Ia memandang langit. Tatapannya terlihat menerawang, bak mencoba menembus langit biru dan mencari bintang yang tersembunyi di baliknya.

"Mungkin ini terdengar konyol, tapi... coba pikir. Apa yang lu pikirin saat lu main sama anak kecil yang lucu? Rasanya pengen ngelindungin dia, bener gak?"

Aku mengangguk.

"Nah, itu lah yang gua juga lakukan kalo ada orang yang gua sayangin."

Ada jeda sebentar sebelum dia kembali berbicara.

"Saat lu sebagai seorang laki - laki menyukai wanita yang lebih cerdas, lebih kaya, lebih puitis mungkin, lebih rapi, dan pokoknya lebih baik dari lu dalam segala hal deh. Mungkin lu bakal mikir, 'apa yang bisa gua lakuin buat dia?' Dan setelah itu lu mulai kebingungan."

"Padahal kalo menurut gua jawabannya simpel. Lindungi dia. Saat lu gak punya sesuatu yang lebih baik, lu masih bisa ngelindungin dia kok. Jauhin dia dari sesuatu yang bersifat buruk atau bakal ngelukain dia. Mungkin dia sebenernya bisa mengatasi itu sendiri, tapi kenapa lu enggak ngebantuin dia? Bener gak?" Ucapnya sambil tersenyum lebih lebar.

Aku hanya diam. Pertanyaan itu tidak perlu jawaban

Kamis, 02 April 2015

Ironi

Terang dan gelap
panas dan dingin
isi dan kosong
ramai dan sepi

saling bertolak belakang
saling menyeimbangkan

mereka tak akan sama rasanya jika hanya sendiri
bosan rasanya jika selalu sepi
sempit rasanya jika selalu terisi

apakah itu sebuah ironi?
jika ternyata yang bertolak belakang ternyata saling melengkapi?
aku tak mengerti
karena itulah yang terjadi

pada saat aku menulis ini ada satu hal yang aku sadari
bahwa semuanya diciptakan untuk saling melengkapi

seperti sepatu yang tidak akan pernah di pakai sendiri
seperti kau dan aku yang saling menyulut api
seperti kau dan aku yang tak pernah saling perduli

apa kau tahu?
saat kau tidak ada, semua terasa sepi
saat kau menghilang rasanya ada yang kurang

aku benci
aku benci karena harus mengakui ini
karena sebelumnya aku berharap bisa menenangkan diri
saat kau tidak ada di sini
saat kita tidak saling menyulut api

sayangnya itu tidak pernah terjadi...

karena pada saat kau pergi
sebuah perasaan aneh ini muncul dan tak mau pergi
perasaan yang membuatku semakin tak mengerti
ada apa denganku ini?

perasaan itu membuatku melihat foto fotomu lagi
perasaan itu membuatku membayangkanmu lagi
perasaan itu membuatku memimpikanmu lagi
aku benar - benar tak mengerti

dan itu  membuatku ingin bertemu denganmu kembali

Rabu, 11 Maret 2015

Kiss of Death Ch.05


V
“Kau baik-baik saja.” Kata dokter Ian padaku. Dokter itu adalah salah satu temanku saat SMA dulu. Sayangnya kami sempat kehilangan kontak ketika lulus, dan sekarang kami malah bertemu lagi.
Ia sedang duduk si samping ranjangku sambil melihat memegangi ujung stetoskopnya. Aku bersandar pada sisi tempat tidurku.
“Dan.. bagaimana dengan tempat makan dekat rumahmu itu? Yang namanya…” lanjutnya.
“Maksudmu masakan padang yang 10 ribu itu? Masih ada kok.” Kataku datar.
“Tapi aku benar-benar merasakannya. Lidahku terasa aneh, dan kau pasti tahu kalau aku pingsan kemarin dan saat aku pingsan...” ucapanku tersangkut di tenggorokkan. Darah, dinginnya pisau, dan rasa sakit itu benar-benar nyata. Aku benar-benar ketakutan. Tanpa sadar aku menelan ludah.
“Menurutku... kau hanya mengalami trauma pasca kecelakaan. Tenang saja, perlahan-lahan keanehan itu akan hilang.” Ucap Ian sambil tersenyum dia benar-benar banyak berubah.
Aku menggelengkan kepala. Tidak. Aku benar-benar merasakannya. Ini bukan seperti halusinasi di mana kau merasa tidak bisa melawan karena setengah sadar. Ini persis seperti kau diikat di atas ranjang, kemudian mereka mengulitimu tanpa bisa kau lawan. Sebagian diriku mencoba percaya bahwa itu memang akibat trauma pasca kecelakaan, tapi lebih banyak bagian diriku yang tidak percaya. Pasti ada penjelasan lain dari kejadian ini. Pasti ada seseorang yang...
Gadis itu.
                Kuharap gadis itu mengetahui tentang keanehan ini. Tidak, ia pasti tahu jawabannya. Tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang masuk ke dalam mulutku. Lidahku terasa kelu. Aku segera mengambil air minum. Pada saat aku minum, air itu terasa seperti tembaga.
Pufft!!! Aku mendesis sambil membuang air yang tersisa di mulutku. Rasanya menjijikkan, dan ia terasa lebih mirip darah cair. Aku merasa agak mual. Ian menyerit melihatnya.
“Maaf, tapi entah kenapa air ini rasanya aneh. Mirip tembaga.”
Atau darah mungkin? Batinku dalam hati.
"Lain kali..." kata Ian. dia menunjukku dengan jari telunjuk. kelihatannya ia benar-benar tidak suka melihatku melakukan itu.
"Jangan lakukan itu." ucapnya.
                Aku tidak terlalu mendengar ucapannya. kepalaku mulai terasa pusing. Akhirnya aku hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum kecil agar mempersingkat pembicaraan.
Akhirnya Ian itu segera pamit dan segera pergi. pada saat itu kepalaku terasa sangat sakit. aku meringis sambil memijat kepalaku perlahan-lahan.
                Selang beberapa saat, rasa sakit ini berkurang. aku beristirahat sebentar sebelum akhirnya berjalan ke kamar gadis itu. rasa sakitnya masih terasa. tapi setidaknya ia tidak merasakan rasa sakit dan kilasan kejadian seperti saat pertama suara aneh itu muncul pertama kali.
                Aku berjalan mendekati kamar gadis itu. Aku mengambil napas sejenak sebelum masuk ke dalam kamarnya.
Tok, tok, tok.. aku mengetuk pintu kamarnya.
“Aku tahu itu pasti kau.” Kata suara dari dalam kamar. Aku membeku. Tidak salah lagi. Aku mengenalinya dengan baik.
“Masuk saja,  kau tidak mau terlihat seperti orang kebingungan di luar sana kan?” tanyanya.
 Aku membuka pintu secara hati - hati. lebih karena waspada untuk menghindar jika ada benda-benda aneh yang terbang. Tapi ternyata tidak. Gadis itu sedang melihat keluar jendela. Ia terlihat menyadari keberadaanku tetapi tidak peduli.
“Err… bagaimana keadaanmu?” tanyaku. Entah kenapa rasanya aku kehilangan kata – kata.
“Sudahlah, tidak perlu basa-basi. Aku tahu apa tujuanmu ke sini.” Ujar gadis itu.
Aku mengangguk dan memperhatikan wajahnya. Tidak ada ketakutan yang aku lihat saat di kereta. Dia hanya terlihat jengkel.
“Maksudmu… kau tahu apa yang terjadi padaku?”
“Ya.” Gadis itu mengangguk singkat.
“Bisa kau jelaskan padaku?” tanyaku penuh harap.
“Apa yang suara itu katakan padamu?” kali ini dia balas bertanya.
“Suara? Suara apa?” Tanyaku tidak mengerti.
“Apa kau pernah pingsan kemarin?” tanyanya lagi.
Aku segera mengangguk mengiyakan.
“Dan apa kau mendengar suara yang terasa dingin itu?”
Aku mengangguk lagi. Itu adalah suara yang tidak mungkin aku lupakan dan sepertinya gadis itu juga merasakannya.
“Aku ingat. suara itu mengatakan bahwa sang pewaris akan mendapatkan hadiahnya, dan sebuah ciuman kematian untuk dirinya. Apa maksudnya itu?” tanyaku.
“Sebuah ciuman kematian… aku lebih sering menyebutnya menyebutnya kiss of death-”
“Sebentar, apa maksudnya itu?” ucapku tanpa segan-segan menyela.
Gadis itu menghela napas sebentar sebelum akhirnya mulai berbicara.
“Kiss of death adalah saat ketika kau seharusnya mati. Tapi sayangnya kau tidak mati.”
Gadis itu berhenti, ia menyerit melihatku yang kebingungan dan tidak percaya. Tapi ia segera melanjutkan ucapannya.
“Jadi… yah, aku hanya bisa bilang kau seharusnya sudah mati.” Katanya simple.
“Kau pasti bohong.” Kataku sama sekali tidak percaya.
Gadis itu menunjukkan telapak tangannya yang di perban.
“Lihat ini.” Katanya.
                Pada saat mengatakan hal itu, gadis itu membuka perbannya dengan gunting. Aku  tidak melihat gunting itu sebelumnya. Ia membukanya. Menunjukkan telapak tangan kirinya yang belum sembuh dan masih di jahit. Aku memperhatikan telapak tangan tersebut. Luka itu masih terlihat belum sembuh. Sebelum aku sempat merespon, tiba-tiba gadis itu menepuk pelan bahu kananku dengan tangan kirinya.
“Arrgh!!!” aku berteriak kesakitan. Secara refleks aku berusaha menarik tangannya agar tidak menyentuhku. Tapi percuma, sekuat apapun aku mencoba menjauhkannya. Tangan gadis itu tidak bisa dilepas sama sekali. Darah merembes di bahuku. Rasa hangat mulai menyebar di sekitar telapak gadis itu. Aku bisa merasakannya. Pada saat itu aku mulai merasa pusing kembali.
                Begitu kepalaku mulai terasa pusing, gadis itu menurunkan tangannya. Aku terhuyung hampir kehilangan keseimbangan.
“Kau…” kataku pelan sambil memeriksa luka yang ada di bahu kiriku. Tidak ada darah di sana. Aku benar-benar kebingungan. Pandanganku beralih pada tangan kiri gadis itu. Ada darah di sana.
“Bagaimana bisa?” tanyaku sama sekali tidak mengerti.

Senin, 26 Januari 2015

This Life

Draft lama gua pas SMA. Tentang bagaimana kita memilih takdir kita :D


this is not a story from book
this is a life
when evil can win

this is not a movie
when you can cut the scenes
or remake the story

but this is a life
when you can change it
with following your heart
from the badness to a goodness
out from the story line
with follow the time

spread out your move
and suggest in around of us
to make the line
with following the heart

but you only have one time
use it
or lose it

cause this is a life
your life
my life
the real life

Rabu, 21 Januari 2015

Kiss of Death ch.04

IV
                Aku memandang langit sambil bersandar di kursi halaman rumah sakit. Bahuku terasa di tusuk–tusuk. Gadis itu membuat luka ini sedikit terbuka. Untung kata dokter luka ini tidak apa–apa. Aku memijat area sekitar luka itu dengan hati–hati. Apa yang membuatnya bisa begitu marah? Dan apa yang membuatnya begitu sedih? Semua itu terjadi saat ia bertemu denganku. Apa aku telah melakukan sebuah kesalahan? Atau dia mengenal seseorang yang mirip denganku?
                Aku menggelengkan kepala. Mana mungkin aku tahu alasannya. Aku segera beranjak dari tempat duduk. Awan mendung mulai terlihat di langit. Lebih baik segera kembali ke kamar. aku berjalan santai menuju kamar. Samar–samar aku mendengar suara ribut tidak jauh dariku. Ternyata ada seorang pasien  yang sedang dilarikan ke UGD. Sepertinya kondisinya mendadak kritis. Aku melihat para perawat dan dokter terlihat agak panik. Tapi mereka masih berusaha terlihat tenang karena ada keluarga pasien di dekat mereka. Aku memperhatikannya. Mereka hanya berjarak sekitar dua belas langkah dariku. Keluarga mereka terlihat sangat panik.
Pada saat itu aku merasakan sesuatu yang aneh...
                Lidahku dipenuhi oleh rasa tembaga. Aku segera membuang ludah. Tidak ada yang aneh di sana. Aku memasukkan telunjukku ke dalam mulut. Mencari-cari luka di antara gusi. Tidak apa-apa. Semuanya normal. Tapi anehnya lidahku terasa dipenuhi oleh rasa tembaga. Sangat tidak enak ketika rasa tembaga itu memenuhi lidahku. Aku segera mencari air minum terdekat, kepalaku terasa sakit. Rasanya ada jarum yang menusuk kedua pelipisku. Semakin lama rasa sakit itu terasa masuk ke dalam kepalaku. Aku bersandar pada dinding terdekat. Aku mendengar suara orang mengerang kesakitan. Bukan, itu adalah suaraku sendiri. Tapi anehnya suara itu terdengar dari kejauhan. Sakit. hanya itu yang bisa kukatakan. Sakitnya tidak bisa kugambarkan. Pada saat itu sebuah kilasan kejadian muncul di kepalaku. Aku terkulai lemas di atas ranjang operasi. Mataku terbuka sedikit. Aku melihat ada beberapa orang berpakaian hijau persis seperti dokter yang akan melakukan operasi. Aku dalam kondisi setengah sadar. Tiba-tiba ada sebuah benda dingin terasa menyentuh dadaku. Benda itu bergerak secara perlahan dan mendesak masuk ke dalam kulitku. Aku merasakan dinginnya benda itu saat ia menembus kulit. Dan kemudian rasa sakit itu muncul. Aku bisa merasakan benda itu bergerak dan mengiris kulitku. Tiba-tiba semuanya bergerak dengan cepat seperti ada yang menekan tombol remote video. Aku merasa sakit  yang luar biasa. Entah kenapa, aku melihat mereka mengambil sesuatu. Benda itu berwarna merah kelabu dan... ada darah di sana.
                Aku menjerit ketakutan. Tidak aku tidak bisa menjerit. Hanya suara mengerang yang bahkan aku sendiri nyaris tidak bisa mendengarnya. Aku ingin memberi tahu mereka untuk berhenti. Aku ingin memberi tahu mereka kalau aku merasakan rasa sakit ini. Tapi aku tidak bisa. Aku hanya bisa melihat mereka membelah diriku sementara aku bisa merasakan sakitnya tanpa bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa berteriak dalam hati. Memohon agar mereka berhenti atau paling tidak menambah dosis obat bius lebih banyak lagi. Pada saat itu ada beberapa suara yang muncul di kepalaku secara bersamaan. Mereka mengatakan sesuatu yang tidak aku mengerti. Tapi ada satu suara yang paling jelas terdengar. Suara itu seperti terdengar dari suatu tempat yang sangat dalam, tapi aku bisa mendengarnya dengan jelas. Aku tidak tahu apakah itu suara laki-laki atau perempuan. Tapi yang pasti suara itu membuatku merinding. Suara itu berkata di dalam kepalaku..
Sang pewaris akan mendapatkan hadiahnya...
Dalam kesakitan yang amat sangat. Tanpa sadar aku bertanya.
Apa? Apa maksudmu?
Suara itu kembali berkata.
Dan sebuah ciuman kematian untuk dirinya...
#####
                Gadis itu berada di atas ranjang rumah sakit. ia memeluk lututnya sendiri. Wajahnya terlihat murung. Ia memperhatikan tangan kirinya yang diperban. Tanpa sadar ia mengepalkan tangannya yang terluka.
Auch!” ujarnya diiringi desis pelan. Ada setitik darah yang merembes keluar. Gadis itu hanya melihat noda merah yang muncul dengan murung.

Yah... mau bagaimana lagi?” gumamnya pada dirinya sendiri.

Kamis, 15 Januari 2015

Kiss of Death Ch.03

            Dua hari berlalu dengan cepat. Hari ini aku berencana untuk menjenguk gadis itu. Toh tidak ada yang akan menjengukku. Aku mengatakan pada perawat bahwa aku tidak memiliki kerabat, perawat hanya menaikkan alisnya saat aku mengatakan hal tersebut. Dokter mengatakan kalau aku sembuh dengan cepat. Itu merupakan berita baik buatku.
            Aku berjalan mendekati kamar gadis itu berada. Ia ternyata di tempatkan tidak jauh dariku. Hanya berjarak sekitar empat kamar.
“aku tidak akan berhenti begitu saja!” Kata suara keras dari dalam kamar gadis tersebut. Aku mengetahuinya. Itu adalah suara gadis itu sendiri. Aku mendengarnya tepat saat berada di depan pintu kamarnya.
“tapi dari awal kau memang tidak harus melakukannya. Dan apakah kau tidak sadar? Sekarang kau telah mewariskannya.” Kata suara berat khas laki-laki yang telah berumur. Suara itu terdengar lebih lembut dan berusaha menenangkan. Suara itu nyaris tidak terdengar olehku.
            Aku berpaling ke kanan dan kiri. Tidak ada siapa-siapa disekitar sini. Jadi aku menempelkan telinga kiriku lebih dekat ke pintu dan mulai mendengarkan.
“aku tahu itu. Tapi bagaimanapun caranya aku harus menghentikan ini.”ujar gadis itu lebih kepada dirinya sendiri.
“mungkin menurutmu begitu, tapi aku ingin mengingatkan. Aku selalu berharap agar kau segera pulang..” kata pria itu tenang.
“belum. Belum saatnya.” Gumam gadis itu pelan.
Hening sejenak...
            Secara refleks aku segera mundur menjauh dari pintu. Ternyata aku benar. Pintu itu terbuka. Seorang pria yang sepertinya telah berusia empat puluhan keluar dari sana. Aku berpura-pura tidak mengetahui apa-apa. Ia berjalan mendekatiku dan tersenyum tipis. Aku melihatnya dan mencoba membalasnya sewajar mungkin. Begitu ia melewatiku. Aku kembali mendekati pintu kamar gadis itu. Aku sempat ragu untuk membuka pintu itu. Tapi yah... aku tetap melakukannya.
            “emm... hai.” Sapaku pendek. Aku menyapanya tepat ketika pintu itu terbuka.
 Gadis itu sedang duduk di atas ranjang rumah sakit ia terlihat murung. secara garis besar, kamarnya sama seperti kamarku. Gadis itu melongok saat melihatku muncul di depan pintu. Ia sedang memakan potongan apel yang tanpa kulit dari atas piring. Di tangan kanannya ada garpu.Aku berjalan dua tiga langkah.
“kau ingat aku? Orang yang memelukmu saat kecelakaan kereta itu. Aku kesini hanya untuk melihat apakah kau baik-baik saja, dan-“
Tiba-tiba potongan apel melayang ke arahku. Benda-benda itu tepat mengenai bajuku.
“Pergi!!!” perintah gadis itu. Wajahnya amarahnya terlihat sangat jelas.
Kemudian sebuah piring melesat tepat ke arah kepalaku. Secara refleks aku menghindarinya. Untungnya aku berhasil. Piring itu pecah berantakan di sampingku.
“pergi dari sini!!” perintahnya lebih keras. Ia terlihat beranjak dari kasur.
            Tanpa diberi aba-aba, aku segera keluar dari kamar dan menutup pintu itu. Aku bersandar di balik pintu. Aku menghela napas panjang. Aku mendengar gadis itu mengeluarkan sumpah serapah tentangku. Aku hanya mendengarkan sambil bertanya-tanya.
Kenapa ia marah?
Tiba-tiba umpatan itu semakin pelan. Aku penasaran. Setelah melihat sekeliling dan memastikan keadaan aman. Aku mengintip lewat jendela. Ternyata gadis tersebut sedang menangis. Ia menutupi wajahnya dengan bantal. Aku bisa mendengar suara tangisan samar yang berasal darinya. Perubahan emosi tersebut sangat drastis, dan itu membuatku khawatir. Pasti ada sebuah kejadian besar yang membuatnya seperti itu. selain itu ada satu kata yang muncul dikepalaku. Dia itu benar-benar....aneh.