Sabtu, 27 Desember 2014

Aku Ingin Maju

Puisi ini adalah tentang seseorang yang ketakutan melihat dunia yang telah berubah semakin kelam. ia ingin melakukan sesuatu, sayangnya ada sesuatu yang mengahalanginya. apa itu? itu adalah dirinya sendiri.



Orang-orang berlari
timah berhamburan tanpa henti
anak-anak bersembunyi
ketakutan menyelubungi

inikah rasanya akhir?
yang membuat manusia melupakan ikatan?
saat ketika hilangnya kepedulian
waktu dimana dunia mengalami kerusuhan

langit menjadi kelabu
pohon-pohon layu
hewan-hewan merintih pilu
tanpa ada seorangpun yang mau tau

pendulum kehidupan bergejolak
keseimbangan telah rusak
batas kematian retak
malaikat kehidupan bernyanyi serak

disini tidak ada harapan
entah apa yang harus kulakukan

menunggu bukanlah jawaban
kehancuran bukanlah impian
aku ingin maju
tetapi melewati garis pun tak mampu

para pahlawan menghilang
tidak akan pernah pulang
seseorang harus menggantikan

aku ingin maju
menggantikan yang harus di gantikan
membuat ketakutan menjadi khayalan
dan mengembalikan kepedulian
yang telah lenyap dan musnah
di dalam kerusuhan

Rabu, 24 Desember 2014

Semester terakhir

Draft yang saya buat saat menginjak SMA kelas 3. semoga bermanfaat :)


Ini semester terakhir
Kesempatan terakhir
Usaha terakhir
Buatlah semua ini berarti Lakukan dengan sepenuh hati Apapun yang terjadi
Doa, usaha, dan mimpi Tiga hal yang harus kau percayai Tiga hal yang akan membuatmu menjadi Sesuatu yang berarti
Ini saat terakhir Kesempatan terakhir Usaha terakhir
Buatlah semua ini berarti Lakukan dengan sepenuh hati Seperti kau akan mati esok hari
Kita tidak tahu apa yang akan terjadi Takdir belum menentukan dengan pasti Ini adalah hal yang tidak bisa kau pungkiri Kita harus melakukannya tanpa henti
Berusaha dan bermimpi Disertai doa tanpa henti Kemudian lihatlah apa yang akan terjadi

Minggu, 21 Desember 2014

senyuman perpisahan

Ini bukan tentang sebuah perpisahan yang seharusnya tidak kita tangisi atau kita sesali. Ini adalah tentang rasa terimakasih untuk dia yang telah menjadi bagian dari hidup saya.


Baru kusadari waktu berlalu tak pernah berhenti
Kenangan datang dan pergi
Bersama cerita dan mimpi-mimpi
Hingga akhirnya semua ini benar-benar terjadi

Ucapkan selamat tinggal pada saat ini
Katakan halo pada apa yang akan terjadi
Semua  ini akan menjadi kenangan
Untuk di ceritakan dimasa yang akan datang
Tersenyumlah kawan, meskipun ini adalah perpisahan
Tertawalah kawan, meskipun itu akan terlupakan

Ini adalah ujung jalan dari sebuah kebersamaan
Sebelum kita berjalan menuju persimpangan

Janganlah meneteskan air mata
Karena itu akan mengaburkan kenangan yang ada
Janganlah bersedih
Karena itu akan memuat ini terasa pedih

Tersenyumlah kawan
Untuk menyongsong masa depan
Bersyukurlah kawan
Karena kita telah di pertemukan

Sebagai keluarga sebagai satu kesatuan

Rabu, 17 Desember 2014

Bakti dan Ambisi

“Jam sembilan nanti jemput di depan seperti biasa ya pak.” Kata Dimas pada tukang ojek langganannya di telepon.
                “Iya, yaudah, waalaikum salam.” Ucapnya memutus hubungan di telepon.
                Dimas melirik panci diatas kompor. Ia baru saja berhasil membuat sayur asem di dapur kost. Masakan itu belum benar-benar matang. Dimas berjalan ke meja makan. Diatasnya sebuah laptop sedang menyala. Dimas duduk. Tangannya mengarahkan touchpad-nya dan membuka folder berisi cerita-cerita buatannya. Dimas adalah penulis lepas, atau begitulah ia menggambarkan hobi menulisnya. Ia membuka salah satu tulisannya secara acak.
                “apaan nih?” Dimas menyerit melihat tulisannya. Rasanya ia tidak penah membuat cerita yang satu ini. Ia juga tidak tahu bagaimana cerita itu ada di sana. Meskipun begitu Dimas menjadi penasaran dan mulai membaca.



                ”kalau begitu nanti kita tinggal menunggu hasil perkembangan di kuartal  ketiga dan-”
“Papa! Liat nih!” seru Tania berlari-lari kecil. Gadis itu menyengir dan memamerkan gigi susunya. Ia menunjukkan gambar keseniannya yang diberi nilai “A” oleh guru pada ayahnya yang sedang menelepon sambil duduk di sofa ruang tamu. Ayahnya adalah pekerja yang luar biasa. Ia selalu berusaha menyempatkan waktunya untuk bekerja agar dapat menafkahi keluarga ini, dan Tania selalu menghormati hal itu.

“nanti dulu Tania, papa sedang ada pekerjaan.”ucapnya sambil memberi isyarat diam.
Secara otomatis Tania menutup mulutnya dengan tangan sambil berkata,
“ups, maaf”
“sana, main sama mama.”kata ayahnya.
Tania segera berlari menuju ruang keluarga sambil memanggil-manggil ibunya.
“mama!mama! liat ini deh!”seru Tania.
Ibunya sedang menulis sesuatu sambil mendengarkan berita di Tv.
“mama sedang apa?”tanyanya penasaran.
“lagi bikin tabel acara.”ucap ibunya.
“oo.. ”gumam Tania pura-pura mengerti.

Ibunya adalah seorang perempuan yang selalu aktif. Ia selalu mengadakan acara-acara dan melakukan berbagai kegiatan. Mungkin itulah yang menyebabkan ibunya tidak gendut seperti ibu-ibu kebanyakan. Setidaknya menurut gadis kecil itu. Satu lagi, ibunya sangat pandai bercerita.

“ma, liat ini deh!”Tania menunjukkan gambarnya dengan bangga.
“wah, bagus!”puji ibunya.
“iya dong! Kan Tania yang bikin!!”pujinya pada dirinya sendiri. Ibunya segera mengacak-ngacak rambut Tania dengan gemas.
“kalau begitu berarti nanti Tania bisa jadi pelukis nih!” ujarnya.
“lho? Bukannya mau jadi astronot wanita?”tanya ibunya.
“kan nanti melukis bisa di luar angkasa.”jawab Tania.
Ibunya tertawa mendengarnya.
“ih, kok mama malah ketawa?” keluh Tania.
“nanti kalo catnya terbang giamana?”
“kan catnya aku bungkus sama plastik biar gak kemana-mana.”
Ibunya nyengir.
“berarti nanti kalo mau  melukis plastiknya dibuka dulu kan?”
Tania mengguk.
“kalau begitu  nanti catnya terbang dong?”
“Er....” Tania berusaha memikirkan jawabannya.
Begitulah keseharian gadis kecil bernama Tania Maulinda. Baginya hidup itu mudah dan menyenangkan. Terutama ketika ia bersama ayah dan ibunya.
Tetapi ketika Ta-



“Woi! Masakan lu mateng tuh!” seru seseorang tepat di belakang Dimas.
Dimas terkejut bukan main. Ia berpaling ke sumber suara. Andi entah sejak kapan sudah ada di belakangnya.
“bikin kaget aja lu Di!” gerutu Dimas.
“niat gua kan baik.” Sangakal Andi.
                Dimas segera mematikan kompor gas. Ia mengambil mangkuk berukuran cukup besar dan memasukkan sayur asem nya kesana. Andi melihat-lihat laptop Dimas dan bertanya.
“Lu lagi bikin cerita lagi nih?”
                Dimas menggeleng sambil berkata ”enggak”. Ia membuka penggorengan yang di tutup oleh piring. Di dalamnya terdapat bandeng presto. Dimas mulai bercerita bahwa ia sedang membaca cerita yang entah kenapa ada di laptopnya. Ia bercerita sambil mencari tempat bekal di rak piring. Andi memeriksa informasi data tentang cerita itu. Cerita itu pertama kali muncul atau disalin kedalam laptopnya sekitar dua tahu lalu.
                “dua tahun lalu, berarti....”gumam Dimas.
                Dimas berpaling ke Andi, tetapi orang itu telah menghilang. Dimas memanggil-manggil Andi. Memang kebiasaanya suka pergi tiba-tiba. Meskipun sebenarnya Andi sudah memberi tahu Dimas dengan suara pelan. Dimas memasukkan bekalnnya kedalam kantong kresek. Perhatiannya kembali pada laptopnya lagi. Ia kembali duduk dan mulai membaca.



            Tetapi ketika Tania semakin beranjak dewasa, ia menyadari banyak hal yang selama ini keliru. Terutama tentang keluarganya. Secara perlahan Tania menyadari ketika orang lain bercerita bagaimana liburan mereka di pantai, ia malah bercerita bagaimana ia mengikuti acara teman-teman ibunya. Ketika teman-temannya bercerita bagaimana asyiknya mereka berkemah dengan keluarga, ia malah bercerita bagaimana ayahnya mengajarkannya bertatakrama. Semakin dewasa, Tania menyadari ada sekat pemisah di dalam keluarganya.

Tania memperkirakan semua itu bermula saat ia masih berada di sekolah dasar. Suatu malam, Tania kecil tiba-tiba terbangun dan merasa ingin ke kamar mandi. Pada saat itu ia mendengar kedua orang tuanya berdebat. Mereka menyebut-nyebut tantang kepedulian, janji-janji, komitmen sebekum menikah, dan juga tentang dirinya. Tidak perlu waktu yang lama bagi Tania untuk memikirkannya, karena bebeapa hari kemudian ibunya mengalami perubahan. Kini ibunya kembali bekerja.

Setiap kali Tania bertanya kenapa ibunya mau bekerja menjadi pegawai, ia hanya manjawab dengan senyuman ringan dan mulai mengalihkan pembicaraan. Perlu waktu yang lebih lama lagi bagi Tania untuk mengetahui bahwa sebenarnya itu adalah mimpi ibunya. Akhirnya Tania berhenti bertanya. Mengejar mimpi bukanlah masalah besar, bukan?
Sayangnya ayahnya tidak berpikiran seperti itu.



Pada titik itu Dimas berhenti membaca. Cerita itu mulai membuatnya merasa tidak nyaman. Setelah menghela napas sebentar, Dimas kembali membacanya sambil berpikir siapa yang membuat cerita itu.



            Semenjak ibunya mulai bekerja , Tania semakin sering diajak untuk pergi ke pesta atau acara teman ibunya. Dulu ketika sebelum bekerja, ibunya paling banyak mengajaknya ke suatu acara hanya skitar satu kali dalam dua bulan dan itu sudah termasuk acara sunatan ataupun pengajian. Tetapi ketika telah bekerja intensitasnya meningkat manjadi sebulan dua kali , bahkan bisa sampai seminggu dua kali. Ternyata ibunya diterima di sebuah perusahhan multinasional dengan jabatan yang tinggi. Perusahaan itu telah membuat kontrak kerja sejaklama dan membuat ibunya mendapatkan peningkatan jabatan yang sangat pesat. Tania tidak habis pikir, sebegitu hebatnyakah ibunya  hingga ia bisa mendapatkan jabatan hebat dengan sangat pesat.

Pada awalnya Tania tidak masalah ketika diajak pergi kesebuah acara. Tetapi ketika hal itu menjadi semakin sering, Tania menjadi bosan karena disana nyaris tidak ada teman sebayanya. Ketika disana ia diperkenalkan oleh banyak orang kemudian ia akan dibangga-banggakan oleh ibunya. Selain itu, ia juga dipaksa mengunakan berbagai aturan dan etika yang merepotkan. Suatu hari Tania pernah menolak ikut, hasilnya ia dimarahi dan diceramahi habi-habisan. Akhirnya ia mengikuti acara itu dengan terpaksa.

Kini ibunya telah berubah. Dari seorang wanita aktif yang selalu peduli padanya, menjadi orang asing. Ia mejadi jarang berada di rumah. Ketika ia berada di rumah, biasanya ia mengerjakan urusan kantor. Akhirnya ibunya menjadi terkesan tidak terlalu peduli pada rumah.
Tidak lama, ayah Tania mengeluhkan hal tersebut. Tetapi dengan mudah ibunya berdalih dan berkata pada suaminya bahwa suaminya juga melakukan persis seperti dirinya. Ketika mendengar hal itu ayahnya menjadi sangat marah dan kemudian mereka bertengkar hebat. Semenjak saat itu kedua orang tuanya tidak pernah akur. Entah kenapa Tania melihat akhir-akhir ini ayahnya sering menelepon seseorang. Hanya pada saat itu ia terlihat lebih tenang dan gembira. Hal tersebut membuat Tania curiga.
Sedangkan Tania sendiri? Sekarang ia hanyalah aset bagi ibunya untuk membanggakan diri sekaligus korban beres-beres dan amarah kedua orangtuanya. Tania muak dengan itu semua. Ia ingin menghentikannya. Tetapi apa yang bisa ia lakukan??



        Dimas tertegun. Ia mengenali carita ini. Tetapi bagaimana cerita ini bisa ada dalam laptopnya? Siapa yang membuatnya?
                Samar-samar ia mendengar deri motor dari luar.
Pasti pak Bromo...pikirnya.

                Ia segera membawa laptop dan bekalnya kedalam kamar kost. Dimas segera pergi mandi. Selang beberapa menit Dimas  telah keluar dari kamar mandi dan mengganti pakaian. Ia mengenakan kemeja berwarna biru muda dan celana bahan berwarna hitam. Tak lupa, ia mengenakan dasi dengan warna abu-abu. Dimas mengambil tablet dan menghubungkannya pada laptop. Dimas meng- copy cerita itu kedalam tabletnya. Kemudian ia mematikan laptopnya dan menyimpannya dalam lemari. Setelah itu Dimas memasukkan bekal dan tabletnya kedalam tas. Ia keluar dari kamar kostnya. Terdengar bunyi “klik” pelan ketika ia mengunci pintu kamar. Dimas mengambil sepatu pantopel dan segera keluar dari kostannya.
“rapi amat hari ini, mau ngelamar kerja?” tanya pak Bromo. Tukang ojek langanannya.
“enggak kok. Cuma mau ketemu seseorang aja.” Jawab Dimas seadana.
Pak Bromo mengangguk-angguk mengerti. Dimas memakai manaiki motornya. Pak Bromo segera menjalankan motornya dan mengantar Dimas ke jalan utama.
“masukin ke daftar tagihan ya pak.” Kata Dimas ketika mereka sudah sampai di pnggir jalan utama.

                Pak Bromo mengiyakan dan segera pergi. Dimas menunggu. Ia menunggu taksi diantara kendaraan lain yang lewat di hadapannya sambil berpikir siapa penulis cerita tersebut. Ia mulai memikirkan orang-orang yang mungkin menulisnya. Apakah yang membuatnya adalah teman-temannya yang memiliki hobi menulis seperti dirinya? Rasanya tidak mungkin karena ia baru mengenal mereka tahun lalu ketika ia masuk ke dunia perkuliahan. Apakah penulisnya adalah ia sendiri? Mustahil, ingat saja tidak. Atau penulisnya adalah keluarganya? Kalau dipikir-pikir ayahnya sudah pasti bukan. Sedangkan ibunya...
                Di sudut matanya ia melihat taksi datang ke arahnya. Dimas segera memberi isyarat agar taksi  itu berhenti. Dimas segera masuk.
“ke alamat ini pak.” Kata Dimas sambil memberikan secarik kertas berisi alamat dari dompetnya.
                Sopir itu menganggukkan kepalanya dan tanpa basa-basi segera menjalankan mobilnya. Taksi tersebut melaju dengan tenang. Dimas membuka tasnya, ia mengeluarkan tabletnya. ia pikir mungkin akan lebih mudah mengetahui siapa penulisnya dari gaya bahasa cerita tersebut.



”Tania, hari ini kamu ikut mama ke pesta ulang tahun atasan  mama ya?”ucap ibunya.
            Tania yang sedang sarapan dengan sereal buatan sendiri segera berhenti sejenak. Itu bukanlah permintaan, tetapi itu adalah perintah. Ia mengenalinya. Tania memikirkan cara untuk menolaknya. Sudah terlalu banya acara memuakkan dan membosankan yang diikutinya. Lagi pula minggu ini sedang ada ujian mid semester.
“enggak ah ma.”kata Tania selang beberapa lama.
Mata ibunya terlihat agak menyipit. Ia berkata.
“kok begitu?”
“seminggu ini Tania ada ujian.”
“ya ampun... kamukan kemarin masuk rangking tiga besar, ujian pasti gampang. Pokoknya sore nanti ikut mama. Mama mau ngenalin kamu sama salah satu teman mama yang baru, oke?”bujuknya.
“tapi nanti sore Tania mau belajar bareng di rumah teman.”kata Tania agak jengkel.
“belajar sama teman kan masih bisa besok, atau besoknya lagi.. mau ya?”kali ini ibunya memaksa.

            Entah kenapa Tania menghentikan kegiatan makannya. BRAKK!! Tanpa sadar Tania berdiri sambil  menggebrak meja makan.
“Tania gak mau! Tania gak mau ikut ke acara mama! Tania juga punya kegiatan yang harus dilakukan! Tania juga punya kehidupan! Lagipula di sana Tania hanya berdiri kayak robot dan ngikutin mama  pergi sambil dipamerin ke teman-teman mama itu!”ungkap Tania setengah membentak.
            Begitu mengucapkannya Tania segera pergi mengambil tas dan berangkat kesekolah. Sementara itu ibunya hanya menatap punggung anaknya yang berjalan dengan cepat ke luar rumah. Raut wajahnya menjadi keruh dan tidak terbaca. Entah apa yang dipikirkannya.
Malam harinya.....
            Tania belajar sendirian di kamarnya sambil ditemani sebuah speaker aktif berbentuk panda. Hari ini ia berhasil mengerjakan ujiannya dengan lancar. Semoga saja besok ujiannya juga berjalan lancar. Ia membuka-buka buku catatan fisika miliknya. Kamarnya sangatlah sederhana. Hanya terdiri dari rak berisi buku, meja belajar, ranjang dengan beberapa boneka kesukaan miliknya. Tidak ada hiasan di dinding kamarnya hanya cat berwarna putih biasa.
            Terbesit rasa bersalah pada ibunya atas kejadian tadi pagi. Tania segera menepis perasaan itu. Kejadian tersebut tidak sepenuhnya salah dirinya. Hal itu memang sebagian besar salah ibunya, jika saja ibunya tidak memaksanya seperti tadi pagi.

            Tania kembali fokus pada pelajarannya. Lama kelamaan ia diserang oleh rasa kantuk. Meskipun begitu ia memaksakan diri. Tania terkantuk-kantuk untuk menyelesaikan soal fluida di bukunya. Tania melirik jam yang berada di sebelah kanannya. Jam weker klasik tua berwarna perak yang berada tepat di sebelah bingkai fot ia bersama teman-temannya. Jam tesebut menunjukkan pukul 22.45. tania belajar terlalu larut.
            Perlahan-lahan kesadarannya memudar. Tania mematikan speaker aktifya karena lagu yang diputar mulai masuk kategori  lembut dan menenangkan bagi dirinya. Akhirnya ia tertidur di meja belajar.

            Pada saat itu Tania mendengar pentu kamarnya dibuka. Dengan malas ia melihat melalui pantulan dari jam weker peraknya. Dari sana ia melihat ibunya masuk ke dalam kamar dengan balutan gemerlap gaun hitam berenda putih yang sepertinya ada benang perak atau benda sejenisnya di renda tersebut. Ibunya juga memakai sebuah kalung dengan berlian berwarna biru. Sepertinya ia baru saja pulang dari acara temannya. Tania kira ia akan dimarahi karena ia tidak mau pergi bersama ibunya. Jadi ia berpura-pura tidur. Tetapi ibunya tidak membangunkannya. Wanita itu malah mengambil selimut Tania dan menyelimutinya dengan hati-hati. Ibunya mengambil  bingkai foto Tania yang berada di meja belajar. Di foto tersebut anaknya dan juga teman-temannya sedang tersenyum lebar dengan latar Candi Borobudur. Ia tersenyum melihatnya dan berkata.
“terkadang mama lupa kalau kamu sebenarnya sudah bukan anak kecil lagi.”

            Ibunya menaruh foto itu kembali. Ia merapikan selimut yang menyelimuti anaknya dan melihat apa yang sedang dikerjaka anakanya. Tania merasakan tangan ibunya mengelus kepalanya dengan lembut.
“yah, sekarang anakku sudah memiliki kehidupannya sendiri.   Mama seringkali lupa kalau kamu sudah mandiri. Rasanya... kamu sudah tidak butuh perhatian dari mamamu ini. ”kalimat terakhir ibunya tidak lebih keras dari bisikan hingga Tania nyaris tidak bisa mendengarnya.
Tentu saja aku masih perlu perhatian dari mama!! Jerit Tania dalam hati. Ia telah terjaga sepenuhnya, tetapi tetap menutup matanya.
“mama sadar. Pada dasarnya mamamu ini adalah orang yang sangat ambisius dan keras kepala. Karena itu mama sering lupa diri. Tapi sebenarnya mama sangat sayang banget sama papa dan terutama kamu. ”
Ada keheningan sesaat sebelum ibunya berkata,
“maafin mama ya nak... ”

Kemudian ia pergi meninggalkan Tania yang sekarang menatap kosong dinding kamarnya sambil berusaha menahan air mata dan rasa bersalah.
Apakah ini berarti kami akan berdamai?
Atau ini artinya ibunya akan kembali seperti dulu?
            Puluhan pertanyaan berkelebat di kepala Tania. Tetapi ia menahan diri. Tania akan menanyakannya besok. Sekaligus meminta maaf atas sikap kasarnya tadi pagi. Semoga saja besok adalah hari yang baik.
            Sayangnya semua harapan Tania lenyap. Pertengkaran kedua orangtuanya mencapai puncak ketika Tania keluar dari kamarnya di pagi hari. Berdasarkan potongan-potongan yang ia dengar, ternyata ayahnya tertangkap basah selingkuh oleh ibunya melalui pesan masuk di handphone ayahnya. Mereka berdua terhalang oleh meja makan . Ibunya menjerit histeris sambil melemparkan piring antik ke arah ayahnya. Ayahnya menghindari piring itu dan memaki-maki ibunya sambil berusaha menangkapanya. Piring tersebut pecah menabrak dinding. Pada pagi itu, keluarga itu resmi hancur berantakan...



                Cerita itu berakhir tepat ketika sopir taksi memberitahu bahwa mereka sudah sampai. Dimas segera turun dan membayar sesuai dengan biaya yang tertera di argo taksi tersebt. Begitu taksi itu mulai beranjak pergi, dimas segera berbalik dan berjalan.
Cerita itu belum berakhir. batin Dimas, ia masih belum memastikan dengan pasti siapa penulisnya, tetapi secara perlahan Dimas merasa ia bisa mengetahui siapa penulisnya.
“cerita itu masih berlanjut”gumam Dimas.

“setelah kedua orangtua gadis itu bercerai. Gadis itu memilih tinggal bersama kakek dan neneknya. Tidak lama setelah itu ayahnya menikah lagi. Gadis itu sangat sedih mendengarnya. Kemudian ia pindah untuk semetara waktu ke rumah ibunya. Ternyata ambisi ibunya telah membawanya lebih jauh. Bukan, bukan ambisi ibunya yang mengubah ibunya. Tetapi kecintaan ibunya pada ayahnya. Karena sesungguhnya ibunya masih mencintai ayahnya, dan begitu ia mendengar suaminya menikah lagi. Hati ibunya hancur berkeping-keping. Kini ibunya menjadi workaholic, seseorang yang gila kerja dalam artian yang sesungguhnya. Pernah suau malam gadis itu menemukan ibunya berteriak-teriak pada pukul sebelas malam. Gadis itu gelagapan berusaha menghentikan ibunya. Hal itu menjadi pembicaraan tetangga untuk seminggu berikutnya.

Sejak saat itu terkadang ibunya berteriak-teriak, terkadang ibunya menangis tanpa alasan, terkadang ibunya berlagak sedang mempersentasikan sesuatu. Ketika kebiasaan itu semakin parah, dengan terpaksa gadis itu memanggil beberapa tetangganya untuk membantu membawa ibunya ke rumah sakit jiwa. Setelah dilakukan serangkaian tes. Dengan berat hati gadis itu menerima bahwa ibunya mengalami gangguan jiwa dan terpaksa harus menjalani pengobatan disana. Akhirnya gadis itu menuliskan surat pengunduran diri ibunya.”

Dimas menghela napas sejenak. Ia memasuki bangunan besar berwarna putih. Didalamnya terdapat beberapa orang yang sedang duduk di ruang tunggu. Ada resepsionis tepat beberapa langkah di dekatnya. Ia melanjutkan kalimatnya.

“setelah kejadian itu, ibu gadis itu menjadi bahan pembicaraan untuk waktu yang lama. Para tetangga ada yang menunjukkan empati, tetapi lebih banyak yang justru malah menghina dan menjadikannya bahan cemoohan ke yang lainnya. Tetapi walaupun para tetangga menghina ibunya, ayahnya tidak peduli pada istrinya, dan ibunya sendiri mengalami gangguan jiwa. Gadis itu tetap akan selalu menyayangi dan peduli pada ibunya. Karena ia tau, ibunya akan selalu menyayanginya.  Gadis itu akan selalu berbakti pada ibunya. Karena ia sadar wanita itu adalah satu-satunya orang yang akan selalu mendapat tempat di hatinya.”
Dimas mendekati meja resepsionis dan berkata
“Bu, bisa tolong antarkan saya ke kamar Melinda Ningsih? Saya dapat informasi kalau kamarnya telah dipindahkan.”
Perawat yang diajak bicara segera mendongakkan kepalanya dan menghentikan kegiatan menulis katalognya.
“oh, tentu saja Dimas. Tunggu sebentar.” Ucapnya. Ia segera pergi dari meja resepsionis.
Hampir setiap perawat mengenali dirinya karena ia adalah pengunjung tetap disana. Tidak lama perawat itu datang. Ia meminta Dimas untuk mengisi buku tamu. Dimas menurutinya. Beberapa saat kemudian seorang perawat datang dan dan mengajaknya ke ruangan yang ia tuju. Dimas baru pertama kali melihat perawat yang satu itu. Sepertinya ia orang baru. Dimas melihat nama Sonna tertera di bajunya. Tepat di bawah logo RSJ Bakti Asih.

Saat Dimas berjalan bersama perawat itu, Dimas berpikir. Satu-satunya orang paling memungkinkan menulis cerita itu selain dirinya hanya ada satu orang. Kemungkinan besar penulisnya adalah ibunya sendiri.
Kenapa ia bisa membuat kesimpulan seperti itu?
Jawabannya sederhana. Karena ia adalah Tania yang ada di dalam cerita itu. Gadis yang berharap keluarganya kembali normal. Orang yang peduli pada ibunya. semua itu tentang dirinya.
Yah...kecuali persoalan gender. batin Dimas.

Sonna membuka pintu kamar bernomor tiga puuh dua. Ia mempersilahkan Dimas untuk masuk.
“Assalamualaikum.”ujar Dimas sambil masuk kedalam kamar.
                Kamar itu hanya terdiri dari satu ranjang, satu jendela yang diberi penghalang, satu meja berserta dua kursi yang salah satunya telah diisi oleh seorang wanita. Wanita itu memiliki beberapa keriput di wajahnya, rambutnya acak-acakan, tetapi bersih. Ia sedang memegang cangkir plastik dengan cara yang anggn. Wanita itu berpaling pada Dimas sambil tersenyum. Untuk sesaat Dimas mengira ibunya telah normal hingga ibunya berkata,
“selamat datang pak direktur.”ucapnya tenang.
“bu, hari ini Dimas bawa makanan kesukaan Ibu!”seru Dimas sedikit dipaksakan.
“tidak usah repot-repot pak. Nanti juga dibawakan oleh Budi. Oh iya, Bagaimana pogram rekrutmen engineering kita? Lancar?”
Dimas mengeluarkan bekalnya. Tangannya gemetaran. Cerita itu telah membuat kenangan-kenangannya muncul dan menikamnya dengan telak. Dimas berusaha menahan air matanya dan melenyapkan perasaan ngilu yang berada didalam dirinya.
“Bu,”
“ada apa pak direktur?”tanya ibunya.
“selamat hari ibu” kata Dimas lirih.
“Dimas sayang ibu.” Dimas mengatakannya dengan susah payah. Ia berusaha menahan tangis.
“ah pak direktur bisa aja.”kata ibunya terkekeh pelan.
“lagi pula hari ini bukan hari ibu.”tambahnya.
perkataan ibunya memang benar. Tetapi Dimas tidak peduli. Baginya setiap hari adalah hari ibu. Hari dimana kita harus menunjukkan kasih sayang dan bakti kita pada ibu kita tercinta.

-FIN-

Kamis, 11 Desember 2014

Dua Bunga Akasia

Dua minggu ini merupakan minggu-minggu terburuk bagi Rano. Setelah berbulan-bulan ia berusaha mendapatkan cinta risa dan berhasil, kini Risa putus darinya. Beberapa hari kemudian motor miliknya jatuh ke jurang saat ia hampir ditabrak bus ketika pulang menuju bandung, dan sekarang ternyata teman dekatnya sendiri yang telah bersahabat sejak SMP telah jadian dengan Risa. Ketika pertama kali Rano mengetahui hal tersebut, selama dua hari Rano marah-marah dan ia sudah beberapa kali berkelahi dengan Ivan yang merupakan “sahabat”-nya tersebut. Ia sendiri juga selalu mengacuhkan Risa ketika mereka berpapasan. Kerena ada satu hal yang selalu memenuhi pikirannya.
Penghianat!! Kira-kira itulah yang dipikirkannya.
Dan Rano telah memutuskan untuk mengubah kawan dekatnya menjadi musuh...
Tapi sekarang semua itu berubah saat ia mengetahui bahwa Ivan sedang sekarat. Rano mengetahui hal tersebut dari Risa sekitar satu jam yang lalu. Sebenarnya Rano telah diberi tahu Risa empat jam yang lalu bahwa Ivan mengalami kecelakaan tapi Rano tidak peduli. Ia terlanjur benci pada Ivan. Hingga tadi Risa menelepon Rano dan mengatakan pada Rano tentang keadaan Ivan yang sekarat. Ia juga berkata bahwa Ivan ingin bertemu Rano dan mengatakan sesuatu. Rano yang mendengarnya menjadi khawatir dan cemas. Karena jika ini merupakan adegan film, maka Ivan pasti sebentar lagi akan meninggal.
            Sekarang Rano terbangun didalam bus tepat ketika ponselnya berdering. Display ponselnya menunjukkan nama Risa.
“Halo. Rano, dimana lu?” tanyanya
“Gua..” Rano memperhatikan lingkungan di sekitarnya. Ia sudah setangah jalan menuju Bandung. Rano melihat langit menandakan bahwa sekarang sudah sore.
“Gua udah setengah jalan, Bentar lagi juga sampai di rumah sakit.” Jawabnya.
“Oke, cepetan ya..” ujar Risa dalam telepon. Ia terdengar seperti menahan tangis.
“Iya. Bye…” balas Rano, dan hubungan di putus.
            Saat Rano memasukkan ponselnya ke saku kirinya. Ia melihat dua buah bunga di kursi sebelahnya. Dua bunga akasia berwarna merah muda dan putih.
Bunga kesukaan Risa… batinya.
            Tapi Rano tidak tertarik untuk mengambil bunga tersebut. Ia mengalihkan perhatiannya dengan memndangi pohon yang berkelebat di sekitarnya dengan cepat. Anehnya, bunga itu membuatnya mengkhawatirkan Risa.
######
Malam hari, beberapa saat setelah matahari terbenam.
Rano berlari-lari kecil memasuki rumah sakit Bakti Asih. Ia telah berkali-kali menelepon Risa dan pada akhirnya mencoba menelepon Ivan tanpa jawaban dari keduanya. Rano terus berlari-lari kecil menuju meja resepsionis.
Buk!!! Secara tidak sengaja Rano menabrak seorang perawat yang membawa buku dan berkas-berkas. Berkas-berkas perawat itu jatuh berantakan. Secara refleks ia meminta maaf dan segera membantu perawat tersebut membereskannya. Perawat itu  mengucapkan tidak masalah sambil berjalan pergi. Rano memperhatikan perawat itu sejenak. Tanpa sengaja pandangan Rano teralihkan.
Ini kan...
            Tepat dibawah kakinya terdapat dua bunga akasia berwarna merah muda dan putih. Rano memungutnya. Pandangannya kembali beralih ke tempat perawat itu pergi. Perawat itu telah menghilang diantara kerumunan orang-orang. Rano memperhatikan bunga itu sambil menunggu sebuah keanehan terjadi.
            Sayangnya tidak terjadi apapun. Itu hanyalah sebatas khayalannya.
Tiba-tiba handphone Rano berbunyi. Ada SMS dari Risa. SMS dari Risa menanyakan ia berada dimana. Rano menjawab bahwa ia telah berada di rumah sakit. Risa kembali membalas dan menyuruh Rano menunggu di sana.
            Tidak lama, disudut matanya Risa terlihat diantara orang-orang lain.
“Risa!!” panggil Rano sambil melambaikan tangan.
            Risa beraling ke arah Rano. Ia tersenyum. Wajahnya terlihat pucat dan kelelahan dengan tanda hitam dibawah kelopak matanya. Tetapi ia tetap terlihat cantik dengan cara yang aneh. Risa memberi isyarat pada Rano untuk mendekatinya. Rano berjalan mendekati Risa. Begitu Rano mendekati Risa, gadis itu malah menjauh. Rano terkejut dan tidak mengerti. Tetapi Risa berbalik dan memberi isyarat  untuk mengikutinya sambil terlihat gelisah. Rano menganggap Risa memintanya untuk bergegas. Dengan terpaksa Rano berlari mengikuti Risa. Beberapakali Rano tertinggal, tetapi untungya Risa selalu kembali agar ia tidak tertinggal. Risa telah membawanya menuju bagian rumah sakit yang dalam dan sepi. Semakin lama, Rano semakin khawatir kemana gadis itu akan membawanya.
            Tiba-tiba Rano melihat Risa berlari dan masuk kedalam ruangan di simpangan tidak jauh di depannya.
Akhirnya... batin Rano.
 Rano semakin mempercepat langkahnya. Begitu ia menyentuh gagang pintu, seseorang berlari dari simpangan dengan arah yang berlawanan tepat didepannya. Rano terkejut bukan main. Sayangnya ia tidak bisa berhenti dan mereka berdua bertabrakan.
Aduh... kalo jalan liat-liat dong...” keluh Rano sambil mengusap kepalanya.
Maaf mas, saya gak se- Eh? Rano!!” seru orang itu.
“Ivan?!!” Rano terkejut bukan main.
Kok lu bisa ada disini? Bukannya lu jatuh dari lantai tiga terus sekarat?” tanya Ivan dengan wajah penuh penasaran. Ia kelihatan baik-baik saja.
Enak aja! Ati-ati kalo ngomong! Gua masih sehat gini, lagian bukannya lu kecelakaan?” kata Rano balas bertanya.
Enggak, kata siapa?” jawab Ivan.
Kata...”ucapan Rano bertambah pelan.
Kalau berita ini bohong, berarti kemungkinan besar yang melakukan ini adalah......
“Risa!” ujar mereka berdua bersamaan.
            Rano dan Ivan terkekeh pelan. Rano berpikir, apa alasan Risa mempertemukan mereka berdua? Tanpa disadarinya Ivan melihat Rano termenung dan berkata,
“No...” kata  Ivan memutus lamunan Rano.
Ya?”
Ngomong-ngomong.... gua mau minta maaf soal...”perkataan Ivan tertahan. Ia terlihat tidak nyaman.
            Rano tersadar untuk inilah Risa mempertemukan mereka berdua. Untuk memberi tahu mereka persahabatan mereka sebenarnya sangatlah penting. Meskipun mereka berdua bertengkar. Tetapi sebenarnya mereka masih peduli satu sama lain.
“Harusnya gua yang minta maaf ke lu. Seharusnya gua gak usah marah banget kayak gitu. Sori banget Van..”  Rano menyela perkataan Ivan.
“Ah gak apa-apa kok. Gua udah lama maafin lo. Cuma.... soal Risa..”
Dengan berat hati Rano berkata,
“Yah, mau bagaimana lagi? Risa emang gak cocok sama gua... tapi awas lu kalau bikin Risa kenapa-napa!” ujarnya berusaha terdengar santai.
 “Tenang aja. Gak usah marah-marah gitu mas” Ivan menganggukan kepalanya dan nyengir.
Eh. Kita jadi masuk gak nih?” lanjutnya.
Yep, ayo masuk.” kata Rano.
Mereka membuka pintunya bersama-sama.
            Sepi, itulah kesan pertama mereka berdua. Risa tidak ada disana. Hanya ada beberapa orang yang memunggungi mereka berdua diiringi isakan sedih samar. Rano melangkah perlahan dengan kebingungann dan penasaran. Ivan mengikutinya. Ketika mereka berdua mendekat, Rano melihat sesosok tubuh yang ditutupi oleh kain putih tanpa noda.
Om... tante...” panggil Rano. Ia menyadari bahwa diantara mereka terdapat orang tua dan  beberapa anggota keluarga Risa. Kedua orang tua Risa tidak berkata apapun. Mereka justru berpaling menghindari kontak mata dari Rano dan Ivan.
“Rano...”panggil Ivan lirih.
            Rano berpaling pada Ivan. Wajahnya terlihat pucat dan teramat terkejut saat melihat sesuatu yang berada di ujung ranjang. Rano menyusuri sorot mata Ivan dengan tatapan tegang. Tatapa Rano berubah pucat. Ia melihat apa yang Ivan lihat.
            Sebuah liontin dengan motif bunga akasia dengan hiasan berlian di tengahnya. Rano terpaku melihatnya. Ia sadar satu-satunya orang yang memiliki liontin seperti itu di keluarga Risa hanyalah Risa sendiri. Sebuah kesimpulan menikam kepalanya dengan keras.
Liontin itu.... mayat itu....
Risa!!... Jerit Rano dalam hati.
#####
            Air mata menetes dari pipi Rano sejak sekian lama ia tidak menangis, dan rasanya...... sakit.
            Pagi itu Rano, Ivan, dan tema-teman mereka datang untuk melihat Risa untuk yang terakhir kalinya. Mereka berdua akhirnya tahu, Risa telah meninggal beberapa jam sebelum mereka datang. Tetapi Rano dan Ivan sendiri nyaris tidak percaya ketika mereka berdua mendengarnya. Karena entah bagaimana mereka berdua telah bertemu dengan Risa kemarin.
            Meskipun begitu mereka berusaha untuk mempercayai bahwa gadis yang kini terbaring di liang kubur adalah orang yang penting bagi mereka.
            Selang beberapa waktu, sebagian besar orang yang datang beranjak pergi meninggalkan pemakaman menyisakan Rano, Ivan, dan kedua orang  tua Risa. Disudut matanya Rano melihat Ivan tiba-tiba berlutut. Wajahnya hampa. Tidak ada cahaya kehidupan dimatanya, hanya ada kekosongan dan ketiadaan. Tetapi Ivan tidak menangis sama sekali. Ia lebih tegar dari yang Rano kira.
            Melihat hal tersebut, orang tua Risa hanya menatap Ivan seolah-olah mengerti apa yang dirasakan oleh Ivan sendiri. Karena merasa tidak sanggup lagi melihat duka yang sangat dramatis ini, Rano mendekati Ivan dan menepuk bahunya.
Ayo Van. Lebih baik kita pergi...” bujuknya.
            Ivan hanya menuruti dalam diam. Mereka berdua berpamitan dengan orang tua Risa. Tepat ketika mereka berbalik dan pergi. Ibu Risa memanggil mereka berdua.
Tunggu nak Ivan, nak Rano.”katanya.
            Mereka berdua kembali berbalik dan melihat ibu Risa mendekat. Sebelum bibir Rano mengungkapkan rasa penasarannya, ibu Risa berkata.
Sebenarnya kami menemukan ini diatas meja belajar Risa. Keduanya bertuliskan  nama kalian. Sepertinya entah bagaimana Risa membuat ini beberapa waktu sebelum ia meninggal.” Ujarnya disertai isak samar. Ia menyodorkan dua buah amplop pada mereka berdua. Rano dan Ivan membuka amplop itu. Di dalamnya terdapat sebuah surat dan gantungan kunci berbentuk dua bunga akasia. Rano membuka suratnya dengan gugup dan membacanya  dengan hati-hati.
Untuk sesaat ia melihat Ivan terkejut....
#####
 Lima tahun kemudian...
            Seorang pria berjalan disekitar gerbang pemakaman dengan tenang. Dia mengenakan blazer hitam dengan kacamata minus yang terlihat serasi. Ia mengetikkan beberapa nomor di ponselnya dan menekan tombol panggil.
“Halo, Ivan? Gua udah sampe nih... lu dimana? ”pria itu melihat arlojinya.
Apaan? Masih di jalan? Gua aja udah sampe. Lama lu... iya, iya. Yaudah....” katanya sambil menutup pembicaraan.
Bola matanya otomatis menerawang ke langit yang cerah dan ia tersenyum. Pikirannya kembali ke memori lima tahun lalu. Ketika seseorang yang penting pergi dengan kepingan kenangan yang tidak mungkin dapat ia lupakan. Sebuah perpisahan yang disertai keanehan yang tidak biasa. Dia bahkan masih menyimpan benda pemberian gadis itu. Pria itu mengeluarkan buku catatan yang selalu ia simpan di dalam saku bajunya. Di dalamnya terdapat surat yang gadis itu berikan untuknya. Seluruh kenangannya berterbangan di kepalanya.
Pria tersebut tersenyum tipis. Hingga saat ini ia sendiri tidak melupakan detailnya sedikitpun. Ia membuka surat tersebut dengan hati-hati. Surat itu sudah mulai menguning tetapi ia selalu membawanya kemana-mana. Tulisan didalamnya sudah mulai memudar meskipun masih dapat dibaca dengan jelas, dan kini ia membacanya dengan perlahan...

Dear Rano
Rano, ini Risa. Sebenarnya gua udah lama ingin ngomong langsung ke lu. Tapi waktu itu lu udah tahu hubungan gua sama Ivan. Terus sekarang lu gak mau ngomong sama gua dan marah-marah terus sama ivan. Jadi sekarang gua nulis surat ini ke lu.
No, gua tau lu sedih dan marah waktu gua mutusin lu. Gua juga tau hati lu  pasti sakit banget. Tapi lu tau gak sih? Lebih sakit seseorang yang lu cintai tapi ia gak mencintai lu, atau pacaran sama seseorang yang tidak dicintainya sementara orang yang lu cintai ada di dekat lu? Mungkin lu gk tau jawabannya..
            Tapi itulah yang terjadi sama Risa. Awalnya saat lu nembak gua. Udah sejak lama gua sendiri menyukai lu. Jadi udah pasti gua nerima lu. Tapi..... setelah itu gua sadar. Orang yang gua sukai belum tentu gua cintai dan akhirnya gua tau. Lu adalah pria yang gua kagumi sedangkan Ivan adalah orang yang gua cintai.
            Please No... maafin gua... jangan marah-marah lagi. Lo bakal rusak kalo terus murung seperti itu. Gue pengen ngeliat Rano yang biasanya. Rano yang baik hati, Rano yang lucu, Rano yang peduli sama sahabatnya. Gua minta maaf udah ngerusak persahabatan lu sama Ivan. Gua pengen lu bersahabat lagi sama Ivan, karena lu tau? Terkadang persahabatan lebih penting daripada cinta. Tapi banyak orang yang tidak sadar dan salah satunya adalah Risa ini...
Maaf No...
Yang bodoh dan ceroboh
Risa Aliuretta
Rano membaca surat itu sekali lagi sebelum menyelipkan surat itu kembali kedalam buku catatannya. Tak lama ia mendengar suara mobil mendekat. Sebuah mobil hitam elegan yang ia tidak tahu namanya. Ia menunggu hingga orang yang ada di dalamnya keluar. Seorang pria yang ia tahu pasti adalah Ivan keluar dari mobilnya.  Ivan segera meminta maaf atas keterlambatanya karena ada sedikit masalah di mobilnya.
Makanya jangan sering-sering ganti mobil. Jadi banyak masalah kan.”komentar Rano.
Sori banget deh. Gua belum biasa soalnya.”kata Ivan.
            Rano mengajak Ivan memasuki area pemakaman menuju tempat nisan Risa berada.
Risa...batin Rano.
Hari ini kita dateng lagi buat ketemu sama lu. Sekarang gua udah ngebuktiin kan kalo gua udah bersahabat lagi sama Ivan. Ngomong-ngomong Ivan udah menikah sama temannya. Jangan cemburu loh Ris!...
            Tanpa sengaja Rano melihat bunga akasia saat ia mendekati makam Risa.
Bunga itu, bunga akasia berwarna merah dan putih itu bunga kesukaan lo kan?” kata Rano lirih agar Ivan tidak mendengarnya. Ia mengambil setangkai bunga itu.
            Tidak  lama mereka sampai ditempat Risa di makamkan. Rano berlutut dan menaruh setangkai bunga akasia di depan nisan Risa. Angin berhembus perlahan dan lembut seolah –olah mewakili Risa mengucapkan terima kasih. Untuk beberapa saat mereka memanjatkan doa untuk risa dan lebih banyak termenung menatap nisannya.
            Tidak lama Ivan berpaling pada Rano sambil mengatakan ia harus pulang karena ia dan istrinya harus mengikuti pernikahan sahabat istrinya. Rano hanya mengiyakan karena ia sendiri juga ada keperluan dan harus segera pergi. Rano mengikuti ivan keluar dari pemakaman sambil mempehatikan awan-awan yang menggumpal menjadi berbagai bentuk. Rano tersenyum. Ia melihat sebentuk awan yang sangat familiar. Sebuah bunga akasia. Untuk sejenak Rano terpaku pada awan tersebut dan tersenyum.
Sekarang gua udah tahu arti bunga kesukaan lu” gumamnya.
Bunga akasia itu artinya persahabatan...

Bener gak Ris? batin Rano melanjutkan.


-FIN-