Rabu, 17 Desember 2014

Bakti dan Ambisi

“Jam sembilan nanti jemput di depan seperti biasa ya pak.” Kata Dimas pada tukang ojek langganannya di telepon.
                “Iya, yaudah, waalaikum salam.” Ucapnya memutus hubungan di telepon.
                Dimas melirik panci diatas kompor. Ia baru saja berhasil membuat sayur asem di dapur kost. Masakan itu belum benar-benar matang. Dimas berjalan ke meja makan. Diatasnya sebuah laptop sedang menyala. Dimas duduk. Tangannya mengarahkan touchpad-nya dan membuka folder berisi cerita-cerita buatannya. Dimas adalah penulis lepas, atau begitulah ia menggambarkan hobi menulisnya. Ia membuka salah satu tulisannya secara acak.
                “apaan nih?” Dimas menyerit melihat tulisannya. Rasanya ia tidak penah membuat cerita yang satu ini. Ia juga tidak tahu bagaimana cerita itu ada di sana. Meskipun begitu Dimas menjadi penasaran dan mulai membaca.



                ”kalau begitu nanti kita tinggal menunggu hasil perkembangan di kuartal  ketiga dan-”
“Papa! Liat nih!” seru Tania berlari-lari kecil. Gadis itu menyengir dan memamerkan gigi susunya. Ia menunjukkan gambar keseniannya yang diberi nilai “A” oleh guru pada ayahnya yang sedang menelepon sambil duduk di sofa ruang tamu. Ayahnya adalah pekerja yang luar biasa. Ia selalu berusaha menyempatkan waktunya untuk bekerja agar dapat menafkahi keluarga ini, dan Tania selalu menghormati hal itu.

“nanti dulu Tania, papa sedang ada pekerjaan.”ucapnya sambil memberi isyarat diam.
Secara otomatis Tania menutup mulutnya dengan tangan sambil berkata,
“ups, maaf”
“sana, main sama mama.”kata ayahnya.
Tania segera berlari menuju ruang keluarga sambil memanggil-manggil ibunya.
“mama!mama! liat ini deh!”seru Tania.
Ibunya sedang menulis sesuatu sambil mendengarkan berita di Tv.
“mama sedang apa?”tanyanya penasaran.
“lagi bikin tabel acara.”ucap ibunya.
“oo.. ”gumam Tania pura-pura mengerti.

Ibunya adalah seorang perempuan yang selalu aktif. Ia selalu mengadakan acara-acara dan melakukan berbagai kegiatan. Mungkin itulah yang menyebabkan ibunya tidak gendut seperti ibu-ibu kebanyakan. Setidaknya menurut gadis kecil itu. Satu lagi, ibunya sangat pandai bercerita.

“ma, liat ini deh!”Tania menunjukkan gambarnya dengan bangga.
“wah, bagus!”puji ibunya.
“iya dong! Kan Tania yang bikin!!”pujinya pada dirinya sendiri. Ibunya segera mengacak-ngacak rambut Tania dengan gemas.
“kalau begitu berarti nanti Tania bisa jadi pelukis nih!” ujarnya.
“lho? Bukannya mau jadi astronot wanita?”tanya ibunya.
“kan nanti melukis bisa di luar angkasa.”jawab Tania.
Ibunya tertawa mendengarnya.
“ih, kok mama malah ketawa?” keluh Tania.
“nanti kalo catnya terbang giamana?”
“kan catnya aku bungkus sama plastik biar gak kemana-mana.”
Ibunya nyengir.
“berarti nanti kalo mau  melukis plastiknya dibuka dulu kan?”
Tania mengguk.
“kalau begitu  nanti catnya terbang dong?”
“Er....” Tania berusaha memikirkan jawabannya.
Begitulah keseharian gadis kecil bernama Tania Maulinda. Baginya hidup itu mudah dan menyenangkan. Terutama ketika ia bersama ayah dan ibunya.
Tetapi ketika Ta-



“Woi! Masakan lu mateng tuh!” seru seseorang tepat di belakang Dimas.
Dimas terkejut bukan main. Ia berpaling ke sumber suara. Andi entah sejak kapan sudah ada di belakangnya.
“bikin kaget aja lu Di!” gerutu Dimas.
“niat gua kan baik.” Sangakal Andi.
                Dimas segera mematikan kompor gas. Ia mengambil mangkuk berukuran cukup besar dan memasukkan sayur asem nya kesana. Andi melihat-lihat laptop Dimas dan bertanya.
“Lu lagi bikin cerita lagi nih?”
                Dimas menggeleng sambil berkata ”enggak”. Ia membuka penggorengan yang di tutup oleh piring. Di dalamnya terdapat bandeng presto. Dimas mulai bercerita bahwa ia sedang membaca cerita yang entah kenapa ada di laptopnya. Ia bercerita sambil mencari tempat bekal di rak piring. Andi memeriksa informasi data tentang cerita itu. Cerita itu pertama kali muncul atau disalin kedalam laptopnya sekitar dua tahu lalu.
                “dua tahun lalu, berarti....”gumam Dimas.
                Dimas berpaling ke Andi, tetapi orang itu telah menghilang. Dimas memanggil-manggil Andi. Memang kebiasaanya suka pergi tiba-tiba. Meskipun sebenarnya Andi sudah memberi tahu Dimas dengan suara pelan. Dimas memasukkan bekalnnya kedalam kantong kresek. Perhatiannya kembali pada laptopnya lagi. Ia kembali duduk dan mulai membaca.



            Tetapi ketika Tania semakin beranjak dewasa, ia menyadari banyak hal yang selama ini keliru. Terutama tentang keluarganya. Secara perlahan Tania menyadari ketika orang lain bercerita bagaimana liburan mereka di pantai, ia malah bercerita bagaimana ia mengikuti acara teman-teman ibunya. Ketika teman-temannya bercerita bagaimana asyiknya mereka berkemah dengan keluarga, ia malah bercerita bagaimana ayahnya mengajarkannya bertatakrama. Semakin dewasa, Tania menyadari ada sekat pemisah di dalam keluarganya.

Tania memperkirakan semua itu bermula saat ia masih berada di sekolah dasar. Suatu malam, Tania kecil tiba-tiba terbangun dan merasa ingin ke kamar mandi. Pada saat itu ia mendengar kedua orang tuanya berdebat. Mereka menyebut-nyebut tantang kepedulian, janji-janji, komitmen sebekum menikah, dan juga tentang dirinya. Tidak perlu waktu yang lama bagi Tania untuk memikirkannya, karena bebeapa hari kemudian ibunya mengalami perubahan. Kini ibunya kembali bekerja.

Setiap kali Tania bertanya kenapa ibunya mau bekerja menjadi pegawai, ia hanya manjawab dengan senyuman ringan dan mulai mengalihkan pembicaraan. Perlu waktu yang lebih lama lagi bagi Tania untuk mengetahui bahwa sebenarnya itu adalah mimpi ibunya. Akhirnya Tania berhenti bertanya. Mengejar mimpi bukanlah masalah besar, bukan?
Sayangnya ayahnya tidak berpikiran seperti itu.



Pada titik itu Dimas berhenti membaca. Cerita itu mulai membuatnya merasa tidak nyaman. Setelah menghela napas sebentar, Dimas kembali membacanya sambil berpikir siapa yang membuat cerita itu.



            Semenjak ibunya mulai bekerja , Tania semakin sering diajak untuk pergi ke pesta atau acara teman ibunya. Dulu ketika sebelum bekerja, ibunya paling banyak mengajaknya ke suatu acara hanya skitar satu kali dalam dua bulan dan itu sudah termasuk acara sunatan ataupun pengajian. Tetapi ketika telah bekerja intensitasnya meningkat manjadi sebulan dua kali , bahkan bisa sampai seminggu dua kali. Ternyata ibunya diterima di sebuah perusahhan multinasional dengan jabatan yang tinggi. Perusahaan itu telah membuat kontrak kerja sejaklama dan membuat ibunya mendapatkan peningkatan jabatan yang sangat pesat. Tania tidak habis pikir, sebegitu hebatnyakah ibunya  hingga ia bisa mendapatkan jabatan hebat dengan sangat pesat.

Pada awalnya Tania tidak masalah ketika diajak pergi kesebuah acara. Tetapi ketika hal itu menjadi semakin sering, Tania menjadi bosan karena disana nyaris tidak ada teman sebayanya. Ketika disana ia diperkenalkan oleh banyak orang kemudian ia akan dibangga-banggakan oleh ibunya. Selain itu, ia juga dipaksa mengunakan berbagai aturan dan etika yang merepotkan. Suatu hari Tania pernah menolak ikut, hasilnya ia dimarahi dan diceramahi habi-habisan. Akhirnya ia mengikuti acara itu dengan terpaksa.

Kini ibunya telah berubah. Dari seorang wanita aktif yang selalu peduli padanya, menjadi orang asing. Ia mejadi jarang berada di rumah. Ketika ia berada di rumah, biasanya ia mengerjakan urusan kantor. Akhirnya ibunya menjadi terkesan tidak terlalu peduli pada rumah.
Tidak lama, ayah Tania mengeluhkan hal tersebut. Tetapi dengan mudah ibunya berdalih dan berkata pada suaminya bahwa suaminya juga melakukan persis seperti dirinya. Ketika mendengar hal itu ayahnya menjadi sangat marah dan kemudian mereka bertengkar hebat. Semenjak saat itu kedua orang tuanya tidak pernah akur. Entah kenapa Tania melihat akhir-akhir ini ayahnya sering menelepon seseorang. Hanya pada saat itu ia terlihat lebih tenang dan gembira. Hal tersebut membuat Tania curiga.
Sedangkan Tania sendiri? Sekarang ia hanyalah aset bagi ibunya untuk membanggakan diri sekaligus korban beres-beres dan amarah kedua orangtuanya. Tania muak dengan itu semua. Ia ingin menghentikannya. Tetapi apa yang bisa ia lakukan??



        Dimas tertegun. Ia mengenali carita ini. Tetapi bagaimana cerita ini bisa ada dalam laptopnya? Siapa yang membuatnya?
                Samar-samar ia mendengar deri motor dari luar.
Pasti pak Bromo...pikirnya.

                Ia segera membawa laptop dan bekalnya kedalam kamar kost. Dimas segera pergi mandi. Selang beberapa menit Dimas  telah keluar dari kamar mandi dan mengganti pakaian. Ia mengenakan kemeja berwarna biru muda dan celana bahan berwarna hitam. Tak lupa, ia mengenakan dasi dengan warna abu-abu. Dimas mengambil tablet dan menghubungkannya pada laptop. Dimas meng- copy cerita itu kedalam tabletnya. Kemudian ia mematikan laptopnya dan menyimpannya dalam lemari. Setelah itu Dimas memasukkan bekal dan tabletnya kedalam tas. Ia keluar dari kamar kostnya. Terdengar bunyi “klik” pelan ketika ia mengunci pintu kamar. Dimas mengambil sepatu pantopel dan segera keluar dari kostannya.
“rapi amat hari ini, mau ngelamar kerja?” tanya pak Bromo. Tukang ojek langanannya.
“enggak kok. Cuma mau ketemu seseorang aja.” Jawab Dimas seadana.
Pak Bromo mengangguk-angguk mengerti. Dimas memakai manaiki motornya. Pak Bromo segera menjalankan motornya dan mengantar Dimas ke jalan utama.
“masukin ke daftar tagihan ya pak.” Kata Dimas ketika mereka sudah sampai di pnggir jalan utama.

                Pak Bromo mengiyakan dan segera pergi. Dimas menunggu. Ia menunggu taksi diantara kendaraan lain yang lewat di hadapannya sambil berpikir siapa penulis cerita tersebut. Ia mulai memikirkan orang-orang yang mungkin menulisnya. Apakah yang membuatnya adalah teman-temannya yang memiliki hobi menulis seperti dirinya? Rasanya tidak mungkin karena ia baru mengenal mereka tahun lalu ketika ia masuk ke dunia perkuliahan. Apakah penulisnya adalah ia sendiri? Mustahil, ingat saja tidak. Atau penulisnya adalah keluarganya? Kalau dipikir-pikir ayahnya sudah pasti bukan. Sedangkan ibunya...
                Di sudut matanya ia melihat taksi datang ke arahnya. Dimas segera memberi isyarat agar taksi  itu berhenti. Dimas segera masuk.
“ke alamat ini pak.” Kata Dimas sambil memberikan secarik kertas berisi alamat dari dompetnya.
                Sopir itu menganggukkan kepalanya dan tanpa basa-basi segera menjalankan mobilnya. Taksi tersebut melaju dengan tenang. Dimas membuka tasnya, ia mengeluarkan tabletnya. ia pikir mungkin akan lebih mudah mengetahui siapa penulisnya dari gaya bahasa cerita tersebut.



”Tania, hari ini kamu ikut mama ke pesta ulang tahun atasan  mama ya?”ucap ibunya.
            Tania yang sedang sarapan dengan sereal buatan sendiri segera berhenti sejenak. Itu bukanlah permintaan, tetapi itu adalah perintah. Ia mengenalinya. Tania memikirkan cara untuk menolaknya. Sudah terlalu banya acara memuakkan dan membosankan yang diikutinya. Lagi pula minggu ini sedang ada ujian mid semester.
“enggak ah ma.”kata Tania selang beberapa lama.
Mata ibunya terlihat agak menyipit. Ia berkata.
“kok begitu?”
“seminggu ini Tania ada ujian.”
“ya ampun... kamukan kemarin masuk rangking tiga besar, ujian pasti gampang. Pokoknya sore nanti ikut mama. Mama mau ngenalin kamu sama salah satu teman mama yang baru, oke?”bujuknya.
“tapi nanti sore Tania mau belajar bareng di rumah teman.”kata Tania agak jengkel.
“belajar sama teman kan masih bisa besok, atau besoknya lagi.. mau ya?”kali ini ibunya memaksa.

            Entah kenapa Tania menghentikan kegiatan makannya. BRAKK!! Tanpa sadar Tania berdiri sambil  menggebrak meja makan.
“Tania gak mau! Tania gak mau ikut ke acara mama! Tania juga punya kegiatan yang harus dilakukan! Tania juga punya kehidupan! Lagipula di sana Tania hanya berdiri kayak robot dan ngikutin mama  pergi sambil dipamerin ke teman-teman mama itu!”ungkap Tania setengah membentak.
            Begitu mengucapkannya Tania segera pergi mengambil tas dan berangkat kesekolah. Sementara itu ibunya hanya menatap punggung anaknya yang berjalan dengan cepat ke luar rumah. Raut wajahnya menjadi keruh dan tidak terbaca. Entah apa yang dipikirkannya.
Malam harinya.....
            Tania belajar sendirian di kamarnya sambil ditemani sebuah speaker aktif berbentuk panda. Hari ini ia berhasil mengerjakan ujiannya dengan lancar. Semoga saja besok ujiannya juga berjalan lancar. Ia membuka-buka buku catatan fisika miliknya. Kamarnya sangatlah sederhana. Hanya terdiri dari rak berisi buku, meja belajar, ranjang dengan beberapa boneka kesukaan miliknya. Tidak ada hiasan di dinding kamarnya hanya cat berwarna putih biasa.
            Terbesit rasa bersalah pada ibunya atas kejadian tadi pagi. Tania segera menepis perasaan itu. Kejadian tersebut tidak sepenuhnya salah dirinya. Hal itu memang sebagian besar salah ibunya, jika saja ibunya tidak memaksanya seperti tadi pagi.

            Tania kembali fokus pada pelajarannya. Lama kelamaan ia diserang oleh rasa kantuk. Meskipun begitu ia memaksakan diri. Tania terkantuk-kantuk untuk menyelesaikan soal fluida di bukunya. Tania melirik jam yang berada di sebelah kanannya. Jam weker klasik tua berwarna perak yang berada tepat di sebelah bingkai fot ia bersama teman-temannya. Jam tesebut menunjukkan pukul 22.45. tania belajar terlalu larut.
            Perlahan-lahan kesadarannya memudar. Tania mematikan speaker aktifya karena lagu yang diputar mulai masuk kategori  lembut dan menenangkan bagi dirinya. Akhirnya ia tertidur di meja belajar.

            Pada saat itu Tania mendengar pentu kamarnya dibuka. Dengan malas ia melihat melalui pantulan dari jam weker peraknya. Dari sana ia melihat ibunya masuk ke dalam kamar dengan balutan gemerlap gaun hitam berenda putih yang sepertinya ada benang perak atau benda sejenisnya di renda tersebut. Ibunya juga memakai sebuah kalung dengan berlian berwarna biru. Sepertinya ia baru saja pulang dari acara temannya. Tania kira ia akan dimarahi karena ia tidak mau pergi bersama ibunya. Jadi ia berpura-pura tidur. Tetapi ibunya tidak membangunkannya. Wanita itu malah mengambil selimut Tania dan menyelimutinya dengan hati-hati. Ibunya mengambil  bingkai foto Tania yang berada di meja belajar. Di foto tersebut anaknya dan juga teman-temannya sedang tersenyum lebar dengan latar Candi Borobudur. Ia tersenyum melihatnya dan berkata.
“terkadang mama lupa kalau kamu sebenarnya sudah bukan anak kecil lagi.”

            Ibunya menaruh foto itu kembali. Ia merapikan selimut yang menyelimuti anaknya dan melihat apa yang sedang dikerjaka anakanya. Tania merasakan tangan ibunya mengelus kepalanya dengan lembut.
“yah, sekarang anakku sudah memiliki kehidupannya sendiri.   Mama seringkali lupa kalau kamu sudah mandiri. Rasanya... kamu sudah tidak butuh perhatian dari mamamu ini. ”kalimat terakhir ibunya tidak lebih keras dari bisikan hingga Tania nyaris tidak bisa mendengarnya.
Tentu saja aku masih perlu perhatian dari mama!! Jerit Tania dalam hati. Ia telah terjaga sepenuhnya, tetapi tetap menutup matanya.
“mama sadar. Pada dasarnya mamamu ini adalah orang yang sangat ambisius dan keras kepala. Karena itu mama sering lupa diri. Tapi sebenarnya mama sangat sayang banget sama papa dan terutama kamu. ”
Ada keheningan sesaat sebelum ibunya berkata,
“maafin mama ya nak... ”

Kemudian ia pergi meninggalkan Tania yang sekarang menatap kosong dinding kamarnya sambil berusaha menahan air mata dan rasa bersalah.
Apakah ini berarti kami akan berdamai?
Atau ini artinya ibunya akan kembali seperti dulu?
            Puluhan pertanyaan berkelebat di kepala Tania. Tetapi ia menahan diri. Tania akan menanyakannya besok. Sekaligus meminta maaf atas sikap kasarnya tadi pagi. Semoga saja besok adalah hari yang baik.
            Sayangnya semua harapan Tania lenyap. Pertengkaran kedua orangtuanya mencapai puncak ketika Tania keluar dari kamarnya di pagi hari. Berdasarkan potongan-potongan yang ia dengar, ternyata ayahnya tertangkap basah selingkuh oleh ibunya melalui pesan masuk di handphone ayahnya. Mereka berdua terhalang oleh meja makan . Ibunya menjerit histeris sambil melemparkan piring antik ke arah ayahnya. Ayahnya menghindari piring itu dan memaki-maki ibunya sambil berusaha menangkapanya. Piring tersebut pecah menabrak dinding. Pada pagi itu, keluarga itu resmi hancur berantakan...



                Cerita itu berakhir tepat ketika sopir taksi memberitahu bahwa mereka sudah sampai. Dimas segera turun dan membayar sesuai dengan biaya yang tertera di argo taksi tersebt. Begitu taksi itu mulai beranjak pergi, dimas segera berbalik dan berjalan.
Cerita itu belum berakhir. batin Dimas, ia masih belum memastikan dengan pasti siapa penulisnya, tetapi secara perlahan Dimas merasa ia bisa mengetahui siapa penulisnya.
“cerita itu masih berlanjut”gumam Dimas.

“setelah kedua orangtua gadis itu bercerai. Gadis itu memilih tinggal bersama kakek dan neneknya. Tidak lama setelah itu ayahnya menikah lagi. Gadis itu sangat sedih mendengarnya. Kemudian ia pindah untuk semetara waktu ke rumah ibunya. Ternyata ambisi ibunya telah membawanya lebih jauh. Bukan, bukan ambisi ibunya yang mengubah ibunya. Tetapi kecintaan ibunya pada ayahnya. Karena sesungguhnya ibunya masih mencintai ayahnya, dan begitu ia mendengar suaminya menikah lagi. Hati ibunya hancur berkeping-keping. Kini ibunya menjadi workaholic, seseorang yang gila kerja dalam artian yang sesungguhnya. Pernah suau malam gadis itu menemukan ibunya berteriak-teriak pada pukul sebelas malam. Gadis itu gelagapan berusaha menghentikan ibunya. Hal itu menjadi pembicaraan tetangga untuk seminggu berikutnya.

Sejak saat itu terkadang ibunya berteriak-teriak, terkadang ibunya menangis tanpa alasan, terkadang ibunya berlagak sedang mempersentasikan sesuatu. Ketika kebiasaan itu semakin parah, dengan terpaksa gadis itu memanggil beberapa tetangganya untuk membantu membawa ibunya ke rumah sakit jiwa. Setelah dilakukan serangkaian tes. Dengan berat hati gadis itu menerima bahwa ibunya mengalami gangguan jiwa dan terpaksa harus menjalani pengobatan disana. Akhirnya gadis itu menuliskan surat pengunduran diri ibunya.”

Dimas menghela napas sejenak. Ia memasuki bangunan besar berwarna putih. Didalamnya terdapat beberapa orang yang sedang duduk di ruang tunggu. Ada resepsionis tepat beberapa langkah di dekatnya. Ia melanjutkan kalimatnya.

“setelah kejadian itu, ibu gadis itu menjadi bahan pembicaraan untuk waktu yang lama. Para tetangga ada yang menunjukkan empati, tetapi lebih banyak yang justru malah menghina dan menjadikannya bahan cemoohan ke yang lainnya. Tetapi walaupun para tetangga menghina ibunya, ayahnya tidak peduli pada istrinya, dan ibunya sendiri mengalami gangguan jiwa. Gadis itu tetap akan selalu menyayangi dan peduli pada ibunya. Karena ia tau, ibunya akan selalu menyayanginya.  Gadis itu akan selalu berbakti pada ibunya. Karena ia sadar wanita itu adalah satu-satunya orang yang akan selalu mendapat tempat di hatinya.”
Dimas mendekati meja resepsionis dan berkata
“Bu, bisa tolong antarkan saya ke kamar Melinda Ningsih? Saya dapat informasi kalau kamarnya telah dipindahkan.”
Perawat yang diajak bicara segera mendongakkan kepalanya dan menghentikan kegiatan menulis katalognya.
“oh, tentu saja Dimas. Tunggu sebentar.” Ucapnya. Ia segera pergi dari meja resepsionis.
Hampir setiap perawat mengenali dirinya karena ia adalah pengunjung tetap disana. Tidak lama perawat itu datang. Ia meminta Dimas untuk mengisi buku tamu. Dimas menurutinya. Beberapa saat kemudian seorang perawat datang dan dan mengajaknya ke ruangan yang ia tuju. Dimas baru pertama kali melihat perawat yang satu itu. Sepertinya ia orang baru. Dimas melihat nama Sonna tertera di bajunya. Tepat di bawah logo RSJ Bakti Asih.

Saat Dimas berjalan bersama perawat itu, Dimas berpikir. Satu-satunya orang paling memungkinkan menulis cerita itu selain dirinya hanya ada satu orang. Kemungkinan besar penulisnya adalah ibunya sendiri.
Kenapa ia bisa membuat kesimpulan seperti itu?
Jawabannya sederhana. Karena ia adalah Tania yang ada di dalam cerita itu. Gadis yang berharap keluarganya kembali normal. Orang yang peduli pada ibunya. semua itu tentang dirinya.
Yah...kecuali persoalan gender. batin Dimas.

Sonna membuka pintu kamar bernomor tiga puuh dua. Ia mempersilahkan Dimas untuk masuk.
“Assalamualaikum.”ujar Dimas sambil masuk kedalam kamar.
                Kamar itu hanya terdiri dari satu ranjang, satu jendela yang diberi penghalang, satu meja berserta dua kursi yang salah satunya telah diisi oleh seorang wanita. Wanita itu memiliki beberapa keriput di wajahnya, rambutnya acak-acakan, tetapi bersih. Ia sedang memegang cangkir plastik dengan cara yang anggn. Wanita itu berpaling pada Dimas sambil tersenyum. Untuk sesaat Dimas mengira ibunya telah normal hingga ibunya berkata,
“selamat datang pak direktur.”ucapnya tenang.
“bu, hari ini Dimas bawa makanan kesukaan Ibu!”seru Dimas sedikit dipaksakan.
“tidak usah repot-repot pak. Nanti juga dibawakan oleh Budi. Oh iya, Bagaimana pogram rekrutmen engineering kita? Lancar?”
Dimas mengeluarkan bekalnya. Tangannya gemetaran. Cerita itu telah membuat kenangan-kenangannya muncul dan menikamnya dengan telak. Dimas berusaha menahan air matanya dan melenyapkan perasaan ngilu yang berada didalam dirinya.
“Bu,”
“ada apa pak direktur?”tanya ibunya.
“selamat hari ibu” kata Dimas lirih.
“Dimas sayang ibu.” Dimas mengatakannya dengan susah payah. Ia berusaha menahan tangis.
“ah pak direktur bisa aja.”kata ibunya terkekeh pelan.
“lagi pula hari ini bukan hari ibu.”tambahnya.
perkataan ibunya memang benar. Tetapi Dimas tidak peduli. Baginya setiap hari adalah hari ibu. Hari dimana kita harus menunjukkan kasih sayang dan bakti kita pada ibu kita tercinta.

-FIN-

0 komentar:

Posting Komentar