Kamis, 13 Agustus 2015

Lebih Baik

 Suatu hari aku bertanya pada temanku "Apa yang akan kau lakukan jika gadis yang lu cintai itu lebih cerdas, lebih bisa mengambil keputusan, berpenghasilan lebih banyak, pokoknya lebih dari lu?"

Mendengar hal itu dia hanya menatapku dengan aneh sesaat sebelum akhirnya berkata.

"Tentu saja melindunginya."

"Tapi buat apa? Dia bahkan bisa melindungi dirinya lebih baik dari lu" Ujarku tak setuju.

Pada saat aku mengatakan itu, dia malah tersenyum seperti orang bodoh. Ia memandang langit. Tatapannya terlihat menerawang, bak mencoba menembus langit biru dan mencari bintang yang tersembunyi di baliknya.

"Mungkin ini terdengar konyol, tapi... coba pikir. Apa yang lu pikirin saat lu main sama anak kecil yang lucu? Rasanya pengen ngelindungin dia, bener gak?"

Aku mengangguk.

"Nah, itu lah yang gua juga lakukan kalo ada orang yang gua sayangin."

Ada jeda sebentar sebelum dia kembali berbicara.

"Saat lu sebagai seorang laki - laki menyukai wanita yang lebih cerdas, lebih kaya, lebih puitis mungkin, lebih rapi, dan pokoknya lebih baik dari lu dalam segala hal deh. Mungkin lu bakal mikir, 'apa yang bisa gua lakuin buat dia?' Dan setelah itu lu mulai kebingungan."

"Padahal kalo menurut gua jawabannya simpel. Lindungi dia. Saat lu gak punya sesuatu yang lebih baik, lu masih bisa ngelindungin dia kok. Jauhin dia dari sesuatu yang bersifat buruk atau bakal ngelukain dia. Mungkin dia sebenernya bisa mengatasi itu sendiri, tapi kenapa lu enggak ngebantuin dia? Bener gak?" Ucapnya sambil tersenyum lebih lebar.

Aku hanya diam. Pertanyaan itu tidak perlu jawaban

Kamis, 02 April 2015

Ironi

Terang dan gelap
panas dan dingin
isi dan kosong
ramai dan sepi

saling bertolak belakang
saling menyeimbangkan

mereka tak akan sama rasanya jika hanya sendiri
bosan rasanya jika selalu sepi
sempit rasanya jika selalu terisi

apakah itu sebuah ironi?
jika ternyata yang bertolak belakang ternyata saling melengkapi?
aku tak mengerti
karena itulah yang terjadi

pada saat aku menulis ini ada satu hal yang aku sadari
bahwa semuanya diciptakan untuk saling melengkapi

seperti sepatu yang tidak akan pernah di pakai sendiri
seperti kau dan aku yang saling menyulut api
seperti kau dan aku yang tak pernah saling perduli

apa kau tahu?
saat kau tidak ada, semua terasa sepi
saat kau menghilang rasanya ada yang kurang

aku benci
aku benci karena harus mengakui ini
karena sebelumnya aku berharap bisa menenangkan diri
saat kau tidak ada di sini
saat kita tidak saling menyulut api

sayangnya itu tidak pernah terjadi...

karena pada saat kau pergi
sebuah perasaan aneh ini muncul dan tak mau pergi
perasaan yang membuatku semakin tak mengerti
ada apa denganku ini?

perasaan itu membuatku melihat foto fotomu lagi
perasaan itu membuatku membayangkanmu lagi
perasaan itu membuatku memimpikanmu lagi
aku benar - benar tak mengerti

dan itu  membuatku ingin bertemu denganmu kembali

Rabu, 11 Maret 2015

Kiss of Death Ch.05


V
“Kau baik-baik saja.” Kata dokter Ian padaku. Dokter itu adalah salah satu temanku saat SMA dulu. Sayangnya kami sempat kehilangan kontak ketika lulus, dan sekarang kami malah bertemu lagi.
Ia sedang duduk si samping ranjangku sambil melihat memegangi ujung stetoskopnya. Aku bersandar pada sisi tempat tidurku.
“Dan.. bagaimana dengan tempat makan dekat rumahmu itu? Yang namanya…” lanjutnya.
“Maksudmu masakan padang yang 10 ribu itu? Masih ada kok.” Kataku datar.
“Tapi aku benar-benar merasakannya. Lidahku terasa aneh, dan kau pasti tahu kalau aku pingsan kemarin dan saat aku pingsan...” ucapanku tersangkut di tenggorokkan. Darah, dinginnya pisau, dan rasa sakit itu benar-benar nyata. Aku benar-benar ketakutan. Tanpa sadar aku menelan ludah.
“Menurutku... kau hanya mengalami trauma pasca kecelakaan. Tenang saja, perlahan-lahan keanehan itu akan hilang.” Ucap Ian sambil tersenyum dia benar-benar banyak berubah.
Aku menggelengkan kepala. Tidak. Aku benar-benar merasakannya. Ini bukan seperti halusinasi di mana kau merasa tidak bisa melawan karena setengah sadar. Ini persis seperti kau diikat di atas ranjang, kemudian mereka mengulitimu tanpa bisa kau lawan. Sebagian diriku mencoba percaya bahwa itu memang akibat trauma pasca kecelakaan, tapi lebih banyak bagian diriku yang tidak percaya. Pasti ada penjelasan lain dari kejadian ini. Pasti ada seseorang yang...
Gadis itu.
                Kuharap gadis itu mengetahui tentang keanehan ini. Tidak, ia pasti tahu jawabannya. Tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang masuk ke dalam mulutku. Lidahku terasa kelu. Aku segera mengambil air minum. Pada saat aku minum, air itu terasa seperti tembaga.
Pufft!!! Aku mendesis sambil membuang air yang tersisa di mulutku. Rasanya menjijikkan, dan ia terasa lebih mirip darah cair. Aku merasa agak mual. Ian menyerit melihatnya.
“Maaf, tapi entah kenapa air ini rasanya aneh. Mirip tembaga.”
Atau darah mungkin? Batinku dalam hati.
"Lain kali..." kata Ian. dia menunjukku dengan jari telunjuk. kelihatannya ia benar-benar tidak suka melihatku melakukan itu.
"Jangan lakukan itu." ucapnya.
                Aku tidak terlalu mendengar ucapannya. kepalaku mulai terasa pusing. Akhirnya aku hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum kecil agar mempersingkat pembicaraan.
Akhirnya Ian itu segera pamit dan segera pergi. pada saat itu kepalaku terasa sangat sakit. aku meringis sambil memijat kepalaku perlahan-lahan.
                Selang beberapa saat, rasa sakit ini berkurang. aku beristirahat sebentar sebelum akhirnya berjalan ke kamar gadis itu. rasa sakitnya masih terasa. tapi setidaknya ia tidak merasakan rasa sakit dan kilasan kejadian seperti saat pertama suara aneh itu muncul pertama kali.
                Aku berjalan mendekati kamar gadis itu. Aku mengambil napas sejenak sebelum masuk ke dalam kamarnya.
Tok, tok, tok.. aku mengetuk pintu kamarnya.
“Aku tahu itu pasti kau.” Kata suara dari dalam kamar. Aku membeku. Tidak salah lagi. Aku mengenalinya dengan baik.
“Masuk saja,  kau tidak mau terlihat seperti orang kebingungan di luar sana kan?” tanyanya.
 Aku membuka pintu secara hati - hati. lebih karena waspada untuk menghindar jika ada benda-benda aneh yang terbang. Tapi ternyata tidak. Gadis itu sedang melihat keluar jendela. Ia terlihat menyadari keberadaanku tetapi tidak peduli.
“Err… bagaimana keadaanmu?” tanyaku. Entah kenapa rasanya aku kehilangan kata – kata.
“Sudahlah, tidak perlu basa-basi. Aku tahu apa tujuanmu ke sini.” Ujar gadis itu.
Aku mengangguk dan memperhatikan wajahnya. Tidak ada ketakutan yang aku lihat saat di kereta. Dia hanya terlihat jengkel.
“Maksudmu… kau tahu apa yang terjadi padaku?”
“Ya.” Gadis itu mengangguk singkat.
“Bisa kau jelaskan padaku?” tanyaku penuh harap.
“Apa yang suara itu katakan padamu?” kali ini dia balas bertanya.
“Suara? Suara apa?” Tanyaku tidak mengerti.
“Apa kau pernah pingsan kemarin?” tanyanya lagi.
Aku segera mengangguk mengiyakan.
“Dan apa kau mendengar suara yang terasa dingin itu?”
Aku mengangguk lagi. Itu adalah suara yang tidak mungkin aku lupakan dan sepertinya gadis itu juga merasakannya.
“Aku ingat. suara itu mengatakan bahwa sang pewaris akan mendapatkan hadiahnya, dan sebuah ciuman kematian untuk dirinya. Apa maksudnya itu?” tanyaku.
“Sebuah ciuman kematian… aku lebih sering menyebutnya menyebutnya kiss of death-”
“Sebentar, apa maksudnya itu?” ucapku tanpa segan-segan menyela.
Gadis itu menghela napas sebentar sebelum akhirnya mulai berbicara.
“Kiss of death adalah saat ketika kau seharusnya mati. Tapi sayangnya kau tidak mati.”
Gadis itu berhenti, ia menyerit melihatku yang kebingungan dan tidak percaya. Tapi ia segera melanjutkan ucapannya.
“Jadi… yah, aku hanya bisa bilang kau seharusnya sudah mati.” Katanya simple.
“Kau pasti bohong.” Kataku sama sekali tidak percaya.
Gadis itu menunjukkan telapak tangannya yang di perban.
“Lihat ini.” Katanya.
                Pada saat mengatakan hal itu, gadis itu membuka perbannya dengan gunting. Aku  tidak melihat gunting itu sebelumnya. Ia membukanya. Menunjukkan telapak tangan kirinya yang belum sembuh dan masih di jahit. Aku memperhatikan telapak tangan tersebut. Luka itu masih terlihat belum sembuh. Sebelum aku sempat merespon, tiba-tiba gadis itu menepuk pelan bahu kananku dengan tangan kirinya.
“Arrgh!!!” aku berteriak kesakitan. Secara refleks aku berusaha menarik tangannya agar tidak menyentuhku. Tapi percuma, sekuat apapun aku mencoba menjauhkannya. Tangan gadis itu tidak bisa dilepas sama sekali. Darah merembes di bahuku. Rasa hangat mulai menyebar di sekitar telapak gadis itu. Aku bisa merasakannya. Pada saat itu aku mulai merasa pusing kembali.
                Begitu kepalaku mulai terasa pusing, gadis itu menurunkan tangannya. Aku terhuyung hampir kehilangan keseimbangan.
“Kau…” kataku pelan sambil memeriksa luka yang ada di bahu kiriku. Tidak ada darah di sana. Aku benar-benar kebingungan. Pandanganku beralih pada tangan kiri gadis itu. Ada darah di sana.
“Bagaimana bisa?” tanyaku sama sekali tidak mengerti.

Senin, 26 Januari 2015

This Life

Draft lama gua pas SMA. Tentang bagaimana kita memilih takdir kita :D


this is not a story from book
this is a life
when evil can win

this is not a movie
when you can cut the scenes
or remake the story

but this is a life
when you can change it
with following your heart
from the badness to a goodness
out from the story line
with follow the time

spread out your move
and suggest in around of us
to make the line
with following the heart

but you only have one time
use it
or lose it

cause this is a life
your life
my life
the real life

Rabu, 21 Januari 2015

Kiss of Death ch.04

IV
                Aku memandang langit sambil bersandar di kursi halaman rumah sakit. Bahuku terasa di tusuk–tusuk. Gadis itu membuat luka ini sedikit terbuka. Untung kata dokter luka ini tidak apa–apa. Aku memijat area sekitar luka itu dengan hati–hati. Apa yang membuatnya bisa begitu marah? Dan apa yang membuatnya begitu sedih? Semua itu terjadi saat ia bertemu denganku. Apa aku telah melakukan sebuah kesalahan? Atau dia mengenal seseorang yang mirip denganku?
                Aku menggelengkan kepala. Mana mungkin aku tahu alasannya. Aku segera beranjak dari tempat duduk. Awan mendung mulai terlihat di langit. Lebih baik segera kembali ke kamar. aku berjalan santai menuju kamar. Samar–samar aku mendengar suara ribut tidak jauh dariku. Ternyata ada seorang pasien  yang sedang dilarikan ke UGD. Sepertinya kondisinya mendadak kritis. Aku melihat para perawat dan dokter terlihat agak panik. Tapi mereka masih berusaha terlihat tenang karena ada keluarga pasien di dekat mereka. Aku memperhatikannya. Mereka hanya berjarak sekitar dua belas langkah dariku. Keluarga mereka terlihat sangat panik.
Pada saat itu aku merasakan sesuatu yang aneh...
                Lidahku dipenuhi oleh rasa tembaga. Aku segera membuang ludah. Tidak ada yang aneh di sana. Aku memasukkan telunjukku ke dalam mulut. Mencari-cari luka di antara gusi. Tidak apa-apa. Semuanya normal. Tapi anehnya lidahku terasa dipenuhi oleh rasa tembaga. Sangat tidak enak ketika rasa tembaga itu memenuhi lidahku. Aku segera mencari air minum terdekat, kepalaku terasa sakit. Rasanya ada jarum yang menusuk kedua pelipisku. Semakin lama rasa sakit itu terasa masuk ke dalam kepalaku. Aku bersandar pada dinding terdekat. Aku mendengar suara orang mengerang kesakitan. Bukan, itu adalah suaraku sendiri. Tapi anehnya suara itu terdengar dari kejauhan. Sakit. hanya itu yang bisa kukatakan. Sakitnya tidak bisa kugambarkan. Pada saat itu sebuah kilasan kejadian muncul di kepalaku. Aku terkulai lemas di atas ranjang operasi. Mataku terbuka sedikit. Aku melihat ada beberapa orang berpakaian hijau persis seperti dokter yang akan melakukan operasi. Aku dalam kondisi setengah sadar. Tiba-tiba ada sebuah benda dingin terasa menyentuh dadaku. Benda itu bergerak secara perlahan dan mendesak masuk ke dalam kulitku. Aku merasakan dinginnya benda itu saat ia menembus kulit. Dan kemudian rasa sakit itu muncul. Aku bisa merasakan benda itu bergerak dan mengiris kulitku. Tiba-tiba semuanya bergerak dengan cepat seperti ada yang menekan tombol remote video. Aku merasa sakit  yang luar biasa. Entah kenapa, aku melihat mereka mengambil sesuatu. Benda itu berwarna merah kelabu dan... ada darah di sana.
                Aku menjerit ketakutan. Tidak aku tidak bisa menjerit. Hanya suara mengerang yang bahkan aku sendiri nyaris tidak bisa mendengarnya. Aku ingin memberi tahu mereka untuk berhenti. Aku ingin memberi tahu mereka kalau aku merasakan rasa sakit ini. Tapi aku tidak bisa. Aku hanya bisa melihat mereka membelah diriku sementara aku bisa merasakan sakitnya tanpa bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa berteriak dalam hati. Memohon agar mereka berhenti atau paling tidak menambah dosis obat bius lebih banyak lagi. Pada saat itu ada beberapa suara yang muncul di kepalaku secara bersamaan. Mereka mengatakan sesuatu yang tidak aku mengerti. Tapi ada satu suara yang paling jelas terdengar. Suara itu seperti terdengar dari suatu tempat yang sangat dalam, tapi aku bisa mendengarnya dengan jelas. Aku tidak tahu apakah itu suara laki-laki atau perempuan. Tapi yang pasti suara itu membuatku merinding. Suara itu berkata di dalam kepalaku..
Sang pewaris akan mendapatkan hadiahnya...
Dalam kesakitan yang amat sangat. Tanpa sadar aku bertanya.
Apa? Apa maksudmu?
Suara itu kembali berkata.
Dan sebuah ciuman kematian untuk dirinya...
#####
                Gadis itu berada di atas ranjang rumah sakit. ia memeluk lututnya sendiri. Wajahnya terlihat murung. Ia memperhatikan tangan kirinya yang diperban. Tanpa sadar ia mengepalkan tangannya yang terluka.
Auch!” ujarnya diiringi desis pelan. Ada setitik darah yang merembes keluar. Gadis itu hanya melihat noda merah yang muncul dengan murung.

Yah... mau bagaimana lagi?” gumamnya pada dirinya sendiri.

Kamis, 15 Januari 2015

Kiss of Death Ch.03

            Dua hari berlalu dengan cepat. Hari ini aku berencana untuk menjenguk gadis itu. Toh tidak ada yang akan menjengukku. Aku mengatakan pada perawat bahwa aku tidak memiliki kerabat, perawat hanya menaikkan alisnya saat aku mengatakan hal tersebut. Dokter mengatakan kalau aku sembuh dengan cepat. Itu merupakan berita baik buatku.
            Aku berjalan mendekati kamar gadis itu berada. Ia ternyata di tempatkan tidak jauh dariku. Hanya berjarak sekitar empat kamar.
“aku tidak akan berhenti begitu saja!” Kata suara keras dari dalam kamar gadis tersebut. Aku mengetahuinya. Itu adalah suara gadis itu sendiri. Aku mendengarnya tepat saat berada di depan pintu kamarnya.
“tapi dari awal kau memang tidak harus melakukannya. Dan apakah kau tidak sadar? Sekarang kau telah mewariskannya.” Kata suara berat khas laki-laki yang telah berumur. Suara itu terdengar lebih lembut dan berusaha menenangkan. Suara itu nyaris tidak terdengar olehku.
            Aku berpaling ke kanan dan kiri. Tidak ada siapa-siapa disekitar sini. Jadi aku menempelkan telinga kiriku lebih dekat ke pintu dan mulai mendengarkan.
“aku tahu itu. Tapi bagaimanapun caranya aku harus menghentikan ini.”ujar gadis itu lebih kepada dirinya sendiri.
“mungkin menurutmu begitu, tapi aku ingin mengingatkan. Aku selalu berharap agar kau segera pulang..” kata pria itu tenang.
“belum. Belum saatnya.” Gumam gadis itu pelan.
Hening sejenak...
            Secara refleks aku segera mundur menjauh dari pintu. Ternyata aku benar. Pintu itu terbuka. Seorang pria yang sepertinya telah berusia empat puluhan keluar dari sana. Aku berpura-pura tidak mengetahui apa-apa. Ia berjalan mendekatiku dan tersenyum tipis. Aku melihatnya dan mencoba membalasnya sewajar mungkin. Begitu ia melewatiku. Aku kembali mendekati pintu kamar gadis itu. Aku sempat ragu untuk membuka pintu itu. Tapi yah... aku tetap melakukannya.
            “emm... hai.” Sapaku pendek. Aku menyapanya tepat ketika pintu itu terbuka.
 Gadis itu sedang duduk di atas ranjang rumah sakit ia terlihat murung. secara garis besar, kamarnya sama seperti kamarku. Gadis itu melongok saat melihatku muncul di depan pintu. Ia sedang memakan potongan apel yang tanpa kulit dari atas piring. Di tangan kanannya ada garpu.Aku berjalan dua tiga langkah.
“kau ingat aku? Orang yang memelukmu saat kecelakaan kereta itu. Aku kesini hanya untuk melihat apakah kau baik-baik saja, dan-“
Tiba-tiba potongan apel melayang ke arahku. Benda-benda itu tepat mengenai bajuku.
“Pergi!!!” perintah gadis itu. Wajahnya amarahnya terlihat sangat jelas.
Kemudian sebuah piring melesat tepat ke arah kepalaku. Secara refleks aku menghindarinya. Untungnya aku berhasil. Piring itu pecah berantakan di sampingku.
“pergi dari sini!!” perintahnya lebih keras. Ia terlihat beranjak dari kasur.
            Tanpa diberi aba-aba, aku segera keluar dari kamar dan menutup pintu itu. Aku bersandar di balik pintu. Aku menghela napas panjang. Aku mendengar gadis itu mengeluarkan sumpah serapah tentangku. Aku hanya mendengarkan sambil bertanya-tanya.
Kenapa ia marah?
Tiba-tiba umpatan itu semakin pelan. Aku penasaran. Setelah melihat sekeliling dan memastikan keadaan aman. Aku mengintip lewat jendela. Ternyata gadis tersebut sedang menangis. Ia menutupi wajahnya dengan bantal. Aku bisa mendengar suara tangisan samar yang berasal darinya. Perubahan emosi tersebut sangat drastis, dan itu membuatku khawatir. Pasti ada sebuah kejadian besar yang membuatnya seperti itu. selain itu ada satu kata yang muncul dikepalaku. Dia itu benar-benar....aneh.


Rabu, 14 Januari 2015

Kiss of Death Ch.02

                  Waktu terasa lambat di sekitarku. Aku sendirian dalam kegelapan. Inikah rasanya dunia setelah kita mati? Sunyi, sepi, tanpa siapa pun yang menemani. Tunggu, kurasa aku tidak sendiri. Gadis itu juga ada di sini memunggungiku.
                Aku mendekati dan menyapanya. Gadis itu tidak memberi tanggapan seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Hei, kau mendengarku?” sapaku untuk yang kedua kalinya.
Ia tetap sama seperti sebelumnya. Diam tanpa ada jawaban. Aku menepuk pundaknya. Tiba-tiba cahaya yang membutakan keluar dari tubuh gadis tersebut. Cahaya itu menyilaukan mataku dan terasa sangat menyakitkan untuk dilihat.
Apa-apaan ini?” gumamku yang terkejut. Kemudian semuanya menjadi gelap, atau aku menutup kedua mataku? Entahlah, keduanya terasa sama saja...
                Dengan susah payah, aku berusaha mencari cahaya. Seluruh cahaya kembali sedikit demi sedikit. Perlu beberapa detik bagiku untuk menyadari bahwa aku telah kembali ke dunia nyata. Saat ini aku sedang terbaring di sebuah kamar yang serba putih. Seseorang telah mengganti pakaianku.
                Bahu kananku terasa ditusuk. Aku meringis dengan sebal. Aku berusaha untuk duduk. Percuma. Sekarang aku hanya terkulai lemah di ranjang ini. Pandangan ku berputar mencoba mencari tahu keadaan di dalam kamar ini. Pertanyaan terbesit di kepalaku. Ranjang siapa ini? Apakah aku sedang bermimpi lagi?
Kau sedang berada di rumah sakit,” kata suara wanita disampingku. Aku berpaling ke sumber suara. Tepat di sampingku seorang perawat berusia sekitar empat puluhan. Ia tersenyum sambil memeriksa data kesehatanku.  Aku tidak menyadari dia ada sampai wanita itu berbicara.
Namamu Dian Satria Purnama, benar?” tanyanya sambil memeriksa catatan dokter. Aku segera menganggukkan kepalaku dan balas bertanya.
Aku tahu itu, maksudku.. kenapa aku masih hidup?” aku kelelahan, mengucapkan kalimat itu entah kenapa membuatku semakin lemah.
Kau beruntung.” Jawabnya singkat.
Maksudmu?” tanyaku lemah.
Kau beruntung. Maksudku, lihat dirimu. Hanya terkena satu luka yang kebetulan tidak mengenai organ vital, gegar otak ringan, dan beberapa luka serta memar kecil. Selain itu hanya dua orang yang berhasil selamat.”
Aku tahu siapa yang perawat itu maksud.
“bagaimana dengan gadis itu? Perempuan yang bersamaku?”

Dia baik-baik saja.” Kata perawat itu. Ada nada kekhawatiran yang tersembunyi dalam suaranya.
Sungguh?” kataku tidak percaya.
Yah, sebenarnya.... ada satu hal. Anak itu terlihat sedih. Sepertinya anak itu mengalami semacam trauma atau... kau tahu sebab lain?” tanyanya dengan tatapan menyelidik.
Entahlah.” Jawabku sedikit khawatir. Aku akan mengunjunginya nanti.
Ada apa dengan gadis itu?

Rabu, 07 Januari 2015

Kiss of Death Ch.01

             Langit siang hari di luar Stasiun Lenteng Agung terasa lebih cerah dari biasanya. Orang-orang berjalan sambil berusaha menyelesaikan pekerjaan mereka sendiri. Ada pengamen biola buta yang bermain dengan suara merdu hingga membuat suasana terasa agak sendu. Ia bermain di temani seorang gadis kecil berkerudung pink lusuh. Di tangannya ada bungkus plastic tua yang di jadikan sebagai tempat menaruh uang. Beberapa tukang ojek berusaha menawarkan jasanya. Yah, secara keseluruhan hari ini adalah hari yang baik. Tapi tidak untukku.
            Aku berjalan melewati pengemis itu. Ia memainkan biolanya dengan baik. Sayangnya itu malah membuatku merasa kesal. lagu itu seperti mengejekku. Andai aku bisa menghentikannya. Tapi aku tidak melakukannya. Aku harus pergi dari tempat ini. Kakiku terus melangkah memasuki stasiun. Aku mengambil tiket multitrip dari dalam dompet. Begitu melakukan tapping, aku segera berjalan masuk.
Mas ada yang jatuh.” Ujar seorang seorang ibu yang mengenakan pakaian rapi persis seperti ingin pergi ke pengajian.
            Ia menyodorkan selembar foto. Aku mengambilnya sambil berusaha tersenyum dan mengucapkan terimakasih. Di foto tersebut terdapat gambar soerang wanita cantik berusia sekitar dua puluhan yang mengenakan baju longgar berwarna biru tosca. ia tersenyum hingga lesung pipinya terlihat sambil memiringkan kepalanya serta memamerkan jari telunjuk dan tengah tangan kanan. Aku hanya melihatnya sekilas kemudian meremas foto tersebut sampai menjadi gumpalan kecil keras dan membuangnya di tempat sampah terdekat. Sebuah masa lalu yang tidak layak diingat.
            Tiba-tiba pengumuman terdengar pemberitahuan bahwa kereta tujuan akhir Jakarta Kota sebentar lagi akan sampai di Stasiun Lenteng Agung. Begitu kereta itu terlihat, aku segera berdiri dan bersiap-siap. Sebelum berhenti aku melihat ke dalam melalui kaca kereta tersebut. Ternyata kereta itu dipenuhi banyak orang. Aku sempat ragu untuk masuk. Tapi perasaan tersebut segera ku hilangkan. Ini bukan waktunya untuk berpikir tentang hal semacam itu. Yang penting sekarang hanya pergi dari sini. Kereta tersebut melambat secara bertahap hingga akhirnya berhenti. Satu pintu berhenti tepat di depanku. Aku bisa melihat ada banyak orang di dalamnya. Sebelum pintu itu terbuka aku telah bersiap agar bisa menerobos masuk.
Pintu terbuka. Aku bergerak untuk masuk. Tanpa bisa kutahan, orang-orang itu keluar dari dalam kereta secara serentak dan membentuk dinding yang tak bisa ku tembus. Entah kenapa rasanya mereka semua seperti mencoba menghalangiku. Tapi aku tidak mau kalah. Aku tetap berusaha masuk. Selang beberapa detik, aku sudah berada di dalam kereta.  kereta itu menjadi lebih langgeng dari sebelumnya.
Begitu kereta mulai berjalan, aku mengeluarkan headset dari saku dan segera mendengarkan lagu. Di sudut mataku ada sesuatu yang menarik. Seorang gadis terlihat jongkok di samping pintu masuk. Ia memeluk lututnya sambil menunduk. Rambut hitamnya lurus tergerai sampai punggungnya. Aku masih bisa melihat matanya.  Ia terlihat sedih dan ketakutan. Sebagian diriku tergerak untuk menolongnya.
Tapi untuk apa?
Aku bahkan tidak mengenal gadis itu. Bukan urusanku jika ia terlihat ketakutan. Jadi aku segera mengeraskan lagu yang aku dengar agar tidak perlu memperhatikannya. Tiba-tiba kereta bergoyang lebih keras dari biasanya. Aku terkejut. Tidak lebih tepatnya kami semua terkejut, kecuali.... gadis aneh yang aku lihat tadi. Pada saat itu orang-orang mulai panik.
Kereta berguncang lagi. Orang-orang mulai terlihat ketakutan sama sepertiku. Tapi ada satu hal yang mengganjal. Gadis itu terlihat tidak terkejut sama sekali. Raut wajahnya terlihat sama. Ia menundukkan kepalanya semakin dalam. Tanpa sadar aku mendekatinya. tepat ketika aku mendekatinya, tangannya teracung ke arahku.
Berhenti!” ujarnya singkat.
Aku kebingungan, kenapa ia tiba-tiba menyuruhku berhenti? Sepertinya gadis itu menyadari kebingunganku dan berkata.
Kau tidak boleh lebih dekat dari ini. Menjauh dariku!” kali ini suaranya lebih keras. Entah kenapa sepertinya gadis itu terlihat lebih takut ketika aku mendekatinya.
            Aku terpaku, campuran antara bingung dan ketakutan membuatku tidak bisa berpikir. Pada detik itu kereta terguncang sangat keras. Orang-orang di dalam kereta terlihat ketakutan luar biasa. Sebagian dari mereka yang berdiri terjatuh karena kehilangan keseimbangan. Sebagian lagi terlihat berusaha berjalan ke gerbong paling belakang. Aku harus berpegangan pada tiang besi yang berdiri tepat di depanku agar tidak terjatuh.
            Gadis itu berpegangan pada gagang pintu kereta. Wajahnya hanya sedikit panik. Aku mendengar suara besi bergesekan yang sangat mengganggu dari depan. Pada detik itu aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi  yang pasti kereta menjadi miring dan rasanya sangat mengerikan. Seolah-olah dalam gerak lambat, aku bisa merasakan kengerian orang-orang di sekitarku. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak tahu. Yang aku tahu aku tidak bisa membiarkan gadis itu mati dalam kesedihannya. Pada detik itu kereta semakin miring dan aku  melompat untuk memotong jarak antara diriku dan gadis itu. Aku memeluknya. Menjadikan tubuhku sendiri sebagai pertahanan terakhir. Gadis itu memberontak. Ia berusaha mendorong bahuku agar menjauh. Aku tetap memeluknya dengan erat. Tiba-tiba bahu kananku terasa basah. Aku berpaling. Itu adalah darah.
 Ada besi panjang pipih yang menembus bahuku dan tangan gadis itu. Ia meneteskan air mata dan berkata dengan suara pelan dan penuh penyesalan.
Bodoh....”
Pada saat itu bahu kananku sakit luar biasa. Kemudian dunia berputar sebelum akhirnya menjadi gelap.

Kamis, 01 Januari 2015

Sabtu sore distasiun

Hari itu hari sabtu, hari itu gua berencana membuat janji dengan seorang gadis yang (sebut saja) bernama Nellia. Kami berjanji untuk bertemu di stasiun kereta Jatinegara. Nellia adalah seorang railfans(baca: penggemar kereta), dia pernah bilang kalau senja di stasiun Jatinegara itu indah. Karena gua penasaran, akhirnya kami membuat janji untuk bertemu. Awalnya gua sempat ragu-ragu untuk pergi kesana karena cuacanya terasa gak mendukung. Tapi karena terlanjur penasaran akhirnya gua tetap datang.
                Gua sampai disana sekitar jam lima kurang. Perasaan gua bilang kalo gadis itu itu mungkin sudah bosan setengah mati. Tapi ternyata gua salah, pada saat gua sampai di sana. Nellia lagi berkumpul bersama orang yang entah kenapa terlihat seperti railfans di mata gua(dan memang benar). gua sempat ragu buat menyapa gadis tersebut. Akhirnya gua duduk dulu sejenak sebelum memberitahu kalo gua sudah sampai. Lagian capek juga berdiri lama di kereta.
                Tiba-tiba hp gua bunyi. Ada sms dari Nellia. Dia bertanya gua ada dimana. Pada saat itu gua miikir.
Oke, gua harus dateng...
                Kaki gua bergerak dengan sendirinya. Sebenarnya gua sendiri gak yakin  seperti apa para railfans itu. Tapi yaa... namanya juga penasaran. Akhirnya gua mencoba mendekati mereka dan mencoba untuk berbincang-bincang, toh gua gak sendiri. Ada gadis pencinta kereta yang gua kenal. Dia pasti sudah kenal dengan mereka. Kekhawatiran gua ternyata memang cuma khayalan belaka. Para railfans itu ternyata menerima gua dengan tangan terbuka

Selain itu, gua juga menyadari kalau para railfans itu... memiliki keunikan yang membedakan mereka dengan yang lain. Mereka membuka mata gua kalau kereta itu sebenarnya memiliki banyak cerita dan keindahannya masing-masing. Mereka adalah orang yang bisa melihat keindahan tersembunyi dari para kreator kereta itu sendiri, dan mereka menikmati keindahan itu saat orang lain tidak memperdulikannya.
Bagian yang paling gua suka adalah saat kita berkumpul diperon. Kemudian kereta datang dan berhenti. Tak lama pintunya terbuka. Orang-orang keluar dari sana dengan terburu-buru sambil terlihat sedang berusaha mengejar semacam jadwal tertentu. Pada saat mereka mendekati kami(gua dan para railfans), mereka terpecah. Dari yang awalnya terlihat seperti air bah yang keluar dari pintu kereta dengan luar biasa derasnya, menjadi seperti air sungai yang mengalir deras tetapi terpecah menjadi dua karena ada batu besar yang tidak bisa di terobos. Saat itu kita semua dikelilingi oleh orang-orang itu.
Kesannya seperti menghalangi jalan sih...
                Tetapi pada saat itu juga gua melihat ada sebuah perbedaan antara para railfans dan orang yang baru saja keluar dari kereta.
Para railfans terlihat santai sedangkan orang-orang itu tidak. Sesederhana itu saja.
                Anehnya gua merasakan sesuatu yang lain. Mungkin ini agak lebay, tapi...... saat itu gua merasa kalau gua sedang berada didunia lain bersama dengan para railfans dan kami sedang memperhatikan segerombolan orang yang terlihat terburu-buru di sebuah tempat bernama stasiun Jatinegara di planet Bumi.
                Dari situ gua sadar. Bahwa ternyata manusia seringkali sibuk menggapai tujuannya tapi mereka lupa untuk menikmati proses yang sedang mereka jalani. Mungkin itulah yang membuat manusia terkadang merasa jenuh dengan diri mereka sendiri dan kegiatan yang mereka lakukan. Karena mereka jarang sekali duduk sejenak untuk menikmati proses yang telah mereka capai dan berpikir kembali untuk apa mereka melakukan semua kegiatan itu.

                Pada saat menyadari hal tersebut. Gua merasa sangat berterima kasih pada para railfans dan terutama pada orang yang mengantarkan gua sehingga mengetahui tentang dunia(railfans) itu. Tapi yaaa.... ada agak kecewa juga sih karena gak sempet ngeliat senja yang katanya “indah” gara-gara datengnya kelamaan.

Stand Up

lirik buatan sendiri yang dibikin jadi lagu sama Fire Up The Rainbow. makasih yaa... kalian yang terbaik :D

If you surrender when you trapped in your life
don't make that looks like to difficult
and if you always run away
you just need little pluck
cause when you stumble in your life
you just must stand up

so stand up
for the live and love
so stand up
to keep away from doubt
every body know who you are
but only god know waht are yaou can be
and He always give a miracle in a part of your live

so stand up
and wake up
do anything like you'ill diee tomorrow
tell me you want to promise
you'ill do the best
like this is the last

kalo tertarik liat lagunya, buka aja:
https://soundcloud.com/fireuptherainbow/stand-up

N.B: akhirnya agak beda sih... ini ada dua versi soalnya